Test Footer 2

الاثنين، 17 ديسمبر 2012

STUDI NAHWU MAZHAB BASHRAH

STUDI NAHWU MAZHAB BASHRAH

Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana, mengalir sungai Tigris dan Euphrates yang bermuara ke laut. Basrah terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Bagdad. Namanya diperoleh dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural.
 
Madzhab Bashrah
Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh ‘Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sebagai murid dan sahabat (ashbahi) Abu al-Aswad yang paling cerdas. Kemudian setelah itu dilanjutkan oleh Maimun al-Aqran. Namun Abu ‘Ubaidah mengatakan bahwa Maimun adalah pelanjut setelah Abu al-Aswad. Kemudian setelahnya, barulah ‘Anbasah al-Fil, yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Ishaq al-Khadhramiy.
Selanjutnya adalah Nashr bin ‘Ashim al-Laitsiy dan Yahya bin Ya’mur. Nashr bin ‘Ashim al-Litsiy adalah salah seorang ahli qiraat dan balaghah. Di antara muridnya adalah Abu ‘Amr. Al-Zuhriy mengomentari Nashr:”Ia adalah orang yang sungguh sangat mahir dalam bahsa Arab.” Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang pertama meletakan bahasa Arab. Sedang Yahya bin Ya’mur adalah seorang yang sangat dikenal ilmu dan kefasihan bahsanya. Ia sangat dikenal dengan keilmuannya yang bersih dan sikap amanahnya. Ia telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya.
Perlu diketahui bahwa kedua ulama nahwu ini, telah melakukan lompatan yang besar dalam hal penulisan bahasa Arab, setelah Abu al-Aswad al-Dualiy. Mereka berdua membuat kreasi titik huruf-huruf baik satu atau dobel (dua), untuk membedakan huruf-huruf yang mirip, seperti ba, ya, dan nun. Mereka melakukan hal tersebut atas perintah al-Hajjaj bin Khathib, pada mushhaf utsman.
Yahya bin Ya’mur memiliki kelebihan dalam hal karangan. Diriwayatkan ketika Abu al-Aswad, Atha putera Abu al-Aswad dan dia melakukan perluasan kajian nahwu, seperti membuat bab-babnya dan menggali kias-kiasnya. Maka ketika bab-bab dan juz-juz telah cukup mumpuni, sebagian periwayat menisbatkan pada mereka berdua, bahwa yang pertama menletakan nahwu adalah mereka berdua.
Namun Nashr sampai sekarang masih terkenal sebagai orang yang membedakan huruf-huruf yang saling mirip dengan titik yang sudah dikenal. Dialah yang merubah susunan abjad Arab sehingga seperti sekarang ini. Lalu ia menggantikan titik-titik yang digunakan Abu al-Aswad digantikan dengan titik yang kita kenal sekarang yang dulunya hanya dengan alif (untuk bunyi fathah), wawu (untuk bunyi dhamah) dan ya (untuk bunyi kasrah). Abu al-Aswad memberi titik pada kata (kalimat), hanya untuk membedakan tiap akhir kata (baca: mengi’rabi). Sedang Nashr memberi titik pada kata, tujuanya adalah untuk membedakan tiap huruf bagi orang ‘Ajam (non-Arab), yang mana ketika itu masih sering terbalik antara satu huruf dengan yang lainnya yang terdapat kemiripan.
Dalam fase kedua, di antara ulama nahwu Bashrah terdapat nama Abu Amr bin al-‘Ala dan Abudullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Abu Amr adalah ulam yang terkenal dan gemilang dalam kajian Al-Qur’an, bahasa dan nahwu. Ia adalah salah seorang ahli qiraat sab’ah. Abu Ubaidah mengomentari dirinya:”Ia merupakan orang yang paling pintar dalam qiraat, bahasa Arab, fase-fase (sejarah) orang-orang Arab, dan sya’ir. Ia memiliki buku banyak, hingga menumpuk sampai langit-langit rumahnya. Ia menjadi rujukan banyak orang pada masanya. Di antara muridnya adalah Isa bin Umar, Yunus bin Hubaib, dan Abu al-Khaththab al-Akhfasy.”
Sedang Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhramiy adalah ulama nahwu yang sezaman dengan Abu Amr. Ia salah seorang ulama yang pernah menyalahkan Farazdaq dalam menggunakan bahasa dalam syi’ir gubahannya. Abu Amr lebih diunggulkan dalam bidang bahasa, sedang Abu Ishaq lebih diunggulkan dalam bidang nahwu. Abu ishaq merupakan orang yang paling pintar dan cerdas di Bashrah. Ia adalah orang yang mengklasifikasikan pembahasan nahwu dan membuat kias. Dikatakan bahwa ia adalah ulama yang pertama membuat menta’lil nahwu.
Ulama selanjutnya adalah Isa bin Umar al-Tsaqafiy, sahabat Khalid bin Walid. Ia berguru pada Abu Amr bin al-Ala dan Abdullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Ia dianggap sebagai salah seorang yang ahli qiraat Bashrah. Ia juga menjadi imam dalam bidang bahasa Arab dan nahwu. Barangkali ia adalah orang yang pertama menyusun kitab yang lengkap dalam kedua bidang tersebut. Kedua kitabnya cukup terkenal, walau tidak ada berita yang sampai pada kita mengenai kedua kitab tersebut. Hanya saja Khalil bin Ahmad sebagai muridnya, pernah membaca dan merawatnya.
Isa bin Umar merupakan guru dari ulama-ulama Bashrah yang terkenal seperti Khalil, Sibawaih dan Abu Zaid al-Anshari. Juga guru dari Abu Ja’far al-Ruasiy yang kelak menjadi perintis madzhab Kufah, yang mana murid-muridnya adalah al-Kisaiy dan al-Farra.
Adapun Khalil bin Ahmad merupakan puncaknya dalam penggalian masalah-masalah nahwu dan mensahkan penggunaan kias dalam nahwu. Ia merupakan orang yang meletakan kaidah-kaidah arudh (wazan syi’ir Arab klasik). Ia mengarang sebuah kitab yang sangat terkenal kitab al-‘Ain yang membuat batasan-batasan bahasa Arab. Ia merupakan guru Sibawaih. Dalam kitab¬-nya yang terkenal, Sibawaih banyak meriwayatkan darinya. Setiap Sibawaih berkata سألته atau قال tanpa disebutkan subjeknya, maka maksudnya adalah Khalil.
Abu Zaid adalah seorang yang sangat jujur dan terpercaya dalam periwayatan. Kendati ia dalam bidang nahwu lebih unggul daripada al-Ashma’iy dan Abu Ubaidah, namun ia pun banyak mengarang dalam bidang bahasa, nawadir (anekdot), dan al-gharib.
Para ulama Bashrah memiliki tradisi kunjungan ke qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalam-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya. Mereka beranggapan bahwa bahasa Arab yang asli hanyalah ada di sana. Karena qabilah di pedalaman belum banyak berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar, jadi bahasanya pun masih asli terjaga. Maka jika ingin mengetahui bahasa Arab yang baik dan benar, maka datanglah ke qabilah-qabilah di pedalaman. Begitulah barang kali anggapan ulama Bashrah mengenai keaslian bahasa Arab yang akan dijadikan rujukan.
Di antara qabilah yang paling sering mereka kunjungi adalah Tamim dan Qais. Karena kedua qabilah itu belum bercampur dengan masyarakat di luar Arab (‘ajam). Dengan begitu bahasanya akan senantiasa terjaga. Di Bashrah terdapat pasar yang cukup terkenal, yaitu al-Mirbad. Qabilah-qabilah pedalaman Arab pun pada berdatangan mengunjunginya dengan tujuan berniaga. Pasar ini tak jauh beda seperti Ukazh dulu, yaitu selain tempat berdagang, juga tempat perlombaan sya’ir dan saling membanggakan antar qabilah. Penduduk qabilah-qabilah badwi selalu mendatanginya dengan tujuan untuk mengais rezeki dari sana. Kondisi ini sangat memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kefashihan bahasa penduduk Bashrah dan keterjagaan bahasa mereka. Dengan begitu, interaksi kaum pedalaman Arab (Arab badwi) dengan ulama Bashrah tidak hanya terjadi di kampung-kampung Badwi, tetapi juga di pasar al-Mirbad.
Struktur Bangunan
Bangsa Arab adalah bangsa Baduwi. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang di daerah pedalaman. Tempat gembala mereka adalah padang sahara, makanan mereka bersumber dari alam, dan minuman mereka berasal dari air hujan yang alami pula. Mereka pun menghirup udara yang bersih. Kondisi seperti inilah yang tidak mungkin memisahkan dan menjauhkan mereka dari alam, karena alam merupakan tempat tinggal mereka, tempat sekawanan ternak yang mereka miliki dan asas kehidupan mereka, sehingga tatkala mereka keluar untuk menaklukkan negara-negara yang berdekatan, mereka sangat rindu untuk kembali ke pedalaman dan kangen akan padang sahara.
Tatkala khalifah Umar bin al-Khattab menaklukkan Persia, ia mengutus Matsna bin Harits asy-Syaibani untuk melakukan serangan ke hutan, sebagai persiapan untuk melakukan penaklukkan besar-besaran. Kemudian, ditugaskan pula Sa’d bin Abi Waqash untuk menaklukkan kota-kota. Beliau juga mengutus tentara yang dipimpin ‘Utbah bin Ghazwan untuk mempersulit posisi penduduk Ahwaz, Persia dan bergerak membantu saudara mereka yang sedang berperang yaitu Sa’ad bin Abi Waqash.
Ketika ‘Utbah pergi ke selatan Irak, ia bertemu dengan Suwaid bin Qutbah adz-Dzuhli beserta kekuatan dari bani Bakr bin Wail dan bani Tamim yang sedang bergerak mendekati pasukan yang berdekatan dengan mereka di Persi. ‘Utbahpun menyatukan tentara Suwaid dengan pasukannya dan mereka tingal di tenda-tenda. Akan tetapi ‘Utbah berpendapat bahwa pasukannya membutuhkan tempat tinggal yang bisa dipakai lagi jika kembali dari berperang dan melindungi mereka dari dinginnya hujan. Dia pun menulis surat pada Khalifah untuk meminta ijin tentang gagasannya tersebut. Umar membalas dengan pernyataan: “kumpulkanlah pasukanmu di satu tempat yang dekat dengan air dan terjaga, jangan ada gunung dan sungai yang memisahkan kita, dan tuliskanlah sifat tempat yang kau maksud”. Maka ‘Utbah menulis:“sesungguhnya hamba menemukan tempat yang tanahnya berkerikil, yang berada diujung pedalaman, terdapat air dan buluh di dalamnya”. Umar mengatakan:“sesungguhnya inilah Bashrah, dekat dengan sumber air, tempat perlindungan, dan juga tempat mencari kayu bakar”. Beliau menyepakatinya untuk dijadikan tempat pemukiman tentara.
Bashrah: Pionir bagi Ilmu Nahwu
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Nahwu tumbuh dan berkembang di tangan para ulama Bashrah. Sebenarnya Kufah telah melakukan hal yang sama, namun bagaimanapun juga, Bashrahlah sebagai pionir dan yang paling awal dalam hal ini. Ketika para ulama Kufah mulai sibuk dengan Nahwu mutakkhir kira-kira sepadan dengan ilmuwan Bashrah di era sempurna. Terciptanya kondisi Bashrah seperti ini tidak lepas dari beberapa hal berikut:
1. Letak Geografis
Bashrah terletak pada jarak tiga ratus mil ke arah tenggara dari kota Bagdad, terdapat sungai Tigris dan Euphrates yang mengalir dan bermuara di laut. Kondisi strategis seperti ini tentunya akan berpengaruh kuat terhadap pembentukan personalitas penduduk, dan membuat mereka terkenal juga kematangan berfikir. Letak kota Bashrah yang berada di pinggir pedalaman, fasih bahasa yang murni, dan terbebas dari cacat lachn dan kata-kata asing. Di sana terdapat para ilmuwan yang kadangkala melakukan perjalanan ke pedalaman, namun adakalanya membawa orang Badui ke kota mereka. Di tengah perjalanan, biasanya mereka bertemu dengan orang Arab asli dan melakukan pembicaraan dari sumber bahasa yang asli. Orang yang terkenal melakukan perjalanan ke pedalaman untuk melakukan survey bahasa dan mengumpulkannya adalah Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib, Nadhar bin Syamil, dan Abu Zaid al-Anshari. Hal ini tampak jelas sekali dari perkataan Khalil ketika ditanyai oleh al-Kisai tentang sumber-sumber ilmunya (pedalaman Hijaz, Najd dan Tihama), maka dengan serta merta, al-Kisai pun keluar menuju pedalaman dan menghabiskan lima belas botol tinta untuk menulis bahasa Arab selain dari yang sudah dihafalnya. Kedatangan orang-orang Badui dari pedalaman ke Bashrah sungguh telah memberikan gambaran yang beraneka ragam. Dari mereka yang tinggal hanya untuk sementara kemudian kembali ke pedalaman dan adapula yang tinggal cukup lama dan baru kembali ke qabilah mereka, bahkan jika ada yang mendapatkan tempat yang nyaman di Bashrah mereka tidak kembali. Banyak para siswa yang belajar bahasa menemui orang-orang Badui untuk mendengar percakapan mereka dan mengambilnya.
Mengingat Bashrah sebagai pelabuhan perdagangan bagi Irak di teluk Arab, maka datanglah unsur-unsur asing yang berimbas pada kemajuan di bidang perdangan dan investasi. Dari sinilah terjadi pertemuan antara orang-orang Arab, Persia dan India, sekaligus merupakan perjumpaan antara agama Nasrani, Yahudi, Majusi dan Islam. Kedekatan Bashrah dengan madrasah Gandisabur di Persia yang mempelajari kebudayaan Persia, Yunani dan India telah menghantarkan pada pertautan kebudayaan secara menyeluruh. Maka mucullah upaya penerjemahan pada masa Umar bin Abdul Aziz yang dilakukan oleh Masir Haubah dengan menerjemahkan buku kedokteran. Hal yang sama Abdullah al-Muqaffa’ yang pandai berbahasa Arab dan Persia. Dia menerjemahkan peningalan-peninggalan sejarah dan sastra Persia ke dalam bahasa Arab. Dari putranya yang bernama Muhammad, lahirlah terjemahan bahasa Arab untuk ilmu mantiq-nya Aristoteles dan terjemahan Kalilah wa Dimnah. Terdapat juga penerjemah Yahudi yang bernama Hunain bin Ishaq yang menerjemahkan buku-buku dan mendapat imbalan berupa emas untuk setiap timbangannya. Di Bashrah, terdapat aliran Ayi’ah dan Mu’tazilah yang telah membuka lebar pengambilan keilmuan Yunani. Ini sangat berpengaruh dalam mazhab ilmu kalam mereka dan juga berimbas pula pada ilmu nahwu dalam hal taqsim, ta’lil, ta’wil dan qiyas.
2. Stabilitas Sosial
Bashrah adalah kota yang aman dan stabil serta terlepas dari istabilitas politik dan pertentang mazhab. Kondisi seperti ini telah menghantarkan Bashrah menjadi kota yang berperadaban, disibukkan dengan berbagai aktifitas keilmuan, dan memanfaatkan anekaragam kebudyaan. Terjadilah pertemuan keilmuan yang berbeda dan muncul pulalah mazhab-mazhab agama dan fisafat. Kehidupan yang stabil ini juga menuntut kehidupan intelektualitas yang tertib.
3. Pasar Mirbad
Pasar Mirbad adalah pasar yang sangat terkenal, terletak di pintu barat kota Bashrah. Dulu pasar ini dinamai Pasar Unta (suq ibil) karena terbatas hanya pada penjualan unta, kemudian dinamakan Mirbad karena unta ditinggalkan di tempat tersebut. Oleh karena itu, setiap tempat yang digunakan untuk menambatkan unta dinamakan mirbad. Kemudian jadilah tempat tersebut tempat yang terkenal dan di sana diadakan unjuk kebolehan di bidang puisi dan khitabah. Adapun sebab didirikannya pasar Mirbad adalah karena orang-orang Arab yang datang ke Bashrah dari tengah Jazirah Arab menemukan di pinggiran kota tersebut tempat yang nyaman untuk menunda perjalanan. Mereka kemudian menjadi penduduk Bashrah. Mereka menanti di tempat tersebut untuk berdagang dan saling bertukar hal-hal yang bermanfaat. Alangkah cepatnya tempat tersebut menjadi pasar besar yang sibuk dengan perdagangan di mana para empunya adalah para penyair dan sastra sehingga hiduplah nuansa satra. Merekapun bersaing di Ukaz dalam keindahan.
4. Mesjid Bashrah
Terdapat berbagai macam majelis di dalam mesjid tersebut diantaranya majelis kajian tafsir, ilmu kalam, bahasa dan lain-lain. Para imamnya adalah penduduk Bashrah sendiri yang berbangsa Arab, Persia dan India dan sebagian lagi orang-orang Badui yang datang dari pedalaman. Diantara majelis-majelis yang ada adalah sebagai berikut:


1. Majelis Himad bin Sulmah. Sibawaih ikut bergabung dalam majelis tersebut.
2. Majelis Musa bin Siyar al-Aswari. Jahizd berkomentar tentangnya:“Ini merupakan keajaiban. Dia sangat fasih berbahasa Persia sama halnya dengan bahasa Arabnya. Dia duduk di majelisnya yang terkenal itu, sementara di sebelah kanannya orang Arab dan di sebelah kirinya orang Persi. Dia pun mulai membacakan al-Qur’an dan menafsirkannya dengan orang Arab menggunakan bahasa Arab dan berpaling ke orang-orang Persi dan manfsirkan ayat al-Qur’an dengan bahasa Persia”.
3. Majelis Abu Umar bin al-Ila. Dia megajar qira’ah, bahasa, dan nahwu. Murid-muridnya berdesak-desakan di dalamnya. Suatu ketika, Hasan al-Bashri lewat dan menyaksikan betapa berjejalnya murid-murid yang mengikuti majelis tersebut maka ia pun berkata:” la ila ha illallah, hampir para ulama menjadi tuhan-tuhanan, setiap kemualian tidak dibentengi dengan ilmu maka kehinaanlah yang berkuasa”
4. Di antara majelis-majelis Bashrah yang paling terkenal adalah majelis Khalil bin Ahmad al-Farahidi, yang diikuti para murid yang kemudian menjadi pakar bahasa dan nahwu semisal: Sibawaih, an-Nadhar bin Syamil, Ali bin Hamzah al-Kisai, Abi Muhammad al-Yazidi, al-Ashmai dan yang lainnya.
5. Majelis Yunus bin Habib yang dipenuhi pula murid-muird. Di antara para pemimpin majelis ini yang terkenal adalah Abu Ubaidah, al-Ashmai, Abu Zaid al-Anshari, Abu Muhammad al-Yazidi, Qathrab, Sibawaih, Abu Umar al-Jurmi, al-Kisai, al-Farra’, Khalf Ahmar dan Ibnu Salam al-Jum’i. Halaqah Yunus dimulai pada masa Khalil dan mencapai kesempurnaan setelah wafatnya. Banyak tergabung para tokoh ke dalam majelis Yunus tersebut. Tentang majelis Yunus ini, Marwan bin Abi Hafsah berkata:“Saya belum pernah melihat halaqah yang paling mulia kecuali halaqah-nya Yunus”.


Basrah Mengembangkan Ilmu Nahwu
Pada awal perkembangannya, nahw masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil. Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra. Ilmu ini mendapat iklim yang bagus untuk berkembang di Basrah sesuai dengan keadaan Basrah waktu itu. Ilmu nahw sangat diperlukan di Basrah karena sangat banyak kesalahan bahasa di sana. Kaum muslim non Arab di Basrah sangat membutuhkan ilmu nahw untuk memperbaiki bahasa, menghilangkan pengaruh bahasa asing, mendalami agama Islam, dan meningkatkan kedudukan mereka di kalangan orang Arab. Setelah Abu al-Aswad membangun sistematika ilmu nahw, ternyata orang Arab juga membutuhkannya dalam berbahasa. Setelah masa Abu al-Aswad, perbedaan mulai timbul di antara para muridnya, seperti ‘Abdurrahman bin Hurmuz, Maimun al-Aqran, ‘Anbasah al-Fil, Yahya bin Ya‘mur, Nasr bin ‘Asim, dan juga para murid berikutnya, seperti ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Ala, dan Yunus bin Habib.
Terkait dengan perkembangan ilmu nahw, ada lima tahap perkembangan yang penting untuk diketahui, yaitu:
1. Penggunaan contoh dan dalil.
Cara ini dipakai agar pendapat yang diambil benar dan sesuai dengan perkataan orang Arab. Abu al-Aswad memakai cara ini ketika Bani Qusyair mempertanyakan masuknya dia ke dalam kelompok Syiah. Kemudian Abu al-Aswad mengucapkan sebuah syair yang berbunyi
ولست بمخطئ إن كان غيا فإن يك حبهم رشدا أصبه
Syair ini adalah bukti bahwa Abu al-Aswad tidak ragu-ragu. Pendapat Abu al-Aswad terkait dengan hak untuk berbeda pendapat. Dia menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dalil, yaitu ayat yang berbunyi:
وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضلال مبين (سبأ : 24)
Pada kesempatan yang lain, Abu al-Aswad juga menjelaskan bolehnya menggunakan perkataan لولاي . Hal ini sesuai dengan sebuah syair yang berbunyi:
وكم موطن لولاي طيحت كما هوى # بأجرامه من قنة النيق منهرى
2. Penggunaan pendapat ulama terdahulu.
Hal ini misalnya yang terjadi pada ‘Abdullah bin Abi Ishaq yang membaca:
قل هو الله أحدٌ الله الصمد
Kemudian dia mendengar Nasr bin ‘Asim membacanya dengan cara:
قل هو الله أحدُ الله الصمد
karena bertemunya dua tanwin. ‘Abdullah mengatakan kepada Nasr bahwa ‘Urwah membaca ayat tersebut dengan tanwin, tetapi Nasr mengatakan bahwa bacaan ‘Urwah tidak baik. Maka ‘Abdullah membaca ayat tersebut tanpa tanwin seperti yang dikatakan oleh Nasr.
3. Perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat ini terkait dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri oleh para ahli nahw. Sebagai contoh adalah ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang membaca ayat dengan bacaan:
أو يأتيهم العذاب قُبُلاً (الكهف : 55)
Hal ini berbeda dengan ‘Isa bin ‘Umar yang membaca:
أو يأتيهم العذاب قِبَلاً (الكهف : 55)
‘Abdullah bin Abu Ishaq juga membaca beberapa ayat dengan cara berbeda, misalnya:
يا ليتنا نردَ ولا نكذبَ بآيات ربنا ونكونَ من المؤ منين (الأنعام : 27)
والزانيةَ والزانيَ (النور : 2) dan والسارقَ والسارقةَ (المائدة : 38)
4. Pemeriksaan dan Penafsiran
Para ahli nahw mulai memeriksa kaidah dan menafsirkan teks sesuai dengan kaidah yang mereka susun. Sebagai contoh adalah perbedaan penafsiran antara ‘Isa bin ‘Umar dan ‘Amr bin al-‘Ala. Keduanya membaca sebuah ayat dengan cara yang sama, yaitu ayat: يا جبال أوبي معه والطيرَ (سبأ : 10) . Akan tetapi, keduanya berbeda dalam penafsiran. Bagi ‘Isa, cara pembacaan seperti di atas terkait dengan adanya nida’, sedangkan Abu ‘Amr menyatakan adanya idmar dengan سَخَّرْنَا seperti dalam ayat yang berbunyi: ولسليمان الريحَ (سبأ : 12) .
6. Pemberlakuan Aturan Nahw.
Pemberlakuan ini dilakukan oleh para ahli nahw terkait dengan penggunaan bahasa Arab di kalangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Abu Muslim yang menjadi pengajar khalifah Malik bin Marwan. Dia bertanya kepada seseorang mengenai ayat:(تأزهم أزا (مريم : 83 dan إذا الموءودة سئلت (التكوير : 8) ketika dipakai dalam contoh ungkapan يا فاعلٌ افعلْ . Maka orang itu menjawab dengan perkataan: يا آز اُز dan يا وائد اِد . Maka Abu Muslim merasa bahwa perkataan ini tidak pernah didengarnya dari orang Arab dan memutuskan untuk tidak digunakan di kalangan umat Islam.

GENERASI NAHWU MADZHAB BASHRAH
GENERASI PERTAMA
1. Abul Aswad Ad-Duali
Nama lengkapnya Dzhalim bin Umar bin Supyan bin Jundal bin Ya’mur bin Halis bin Nufatsah bin ‘Uda ibn Du’al bin Abdu Manah bin Kinanah, dikatakan juga bernama Utsman. Dia seorang penduduk Bashrah dan memiliki kekuatan ingatan. Abul Aswad termasuk orang yang fasih bacaannya. Dia belajar qira’ah dari Utsman bin ‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, yang meriwayatkan qira’ahnya adalah putranya sendiri Abu Harb dan Yahya bin Ya’mur. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang menyusun ilmu Nahwu setelah mendapat rekomendasi dari Ali r.a. Abul Asawad meninggal di Bashrah pada tahun 69 H, pada usia delapan puluh lima tahun ketika terjadi wabah pes, namun adapula yang mengatakan bahwa ia wafat sebelum terjadinya wabah pes.
2. Abdurrahman bin Hurmuz
Nama lengkapnya Abu Dawud Abdurrahman bin Hurmuz bin Abi Sa’ad al-Madini al-A’raj, hamba Ibnu Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Muthalib. Abdullah bin al-Hai’ah meriwayatkan dari Abi Nadhr bahwa Abdurahman bin Hurmuz adalah orang pertama yang menyusun bahasa Arab dan dialah orang pertama yang paling tah ilmu nahwu dan seorang keturunan Quraisy. Abdurrahman bin Hurmuz termasuk ahli qari dan juga termasuk rijalul hadits. Ini diriwayatkan dari Abdullah bin Bahinah, Abu Hurairah dan Abdurrahman bin Abdul Qari. Ia termasuk ahli fiqih dan berbeda pendapat dengan Malik bin Anas, ilmu yang diperdebatkan adalah mengenai ushul al-din. Abdurrahman bin Hurmuz pindah ke Iskandariah, dan bermukim di sana sampai wafat pada tahun 117 H.
Karakteristik periode ini:
a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits.
b. Memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena terlarang ini.
c. Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap lahn dalam al-Qur’an.
d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.
e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan tentang GENERASI ini kecuali riwayat yang diklaim oleh Ibn Nadiim dan Qifthi.

GENERASI KEDUA
1. Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi
Abu Sulaiman Yahya bin Ya’mur bin Wasyqah bin Auf bin Bakr bin Yaskur bin Udwan ibn Qais bin Ilan bin Mudhar. Dia dari golongan Bani Laits. Ibnu Ya’mur termasuk orang yang belajar dari Abul Aswad mengenai memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.

2. Maimun Al-Aqran
Abu Abdullah Maimun Al-Aqran, dipanggil juga Maimun bin al-Aqran. Belajar Nahwu dari Abul Aswad. Abu Ubaidah berkata:”Orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu adalah Abul Aswad Ad-Duali, kemudian Maimun al-Aqran, kemudian Anbasah al-Fail, dan Abdullah bin Abi Ishaq”.
3. Anbasah Al-Fil
Anbasah bin Mu’dan al-Misani al-Mahri. Orangtuanya (Mu’dan) adalah dari Misan, kemudian berpindah ke Bashrah dan bermukim di sana
4. Nashr bin Ashim Al-Laitsi
Nama lengkapnya Nashr bin Ashim bin Umar bin Khalid bin Hazm bin As’ad bin Wadi’ah bin Malik bin Qais bin Amir bin Laits bin Bakr bin Abdi Manah bin Ali bin Kinanah. Dalam hal keturunan ia bertemu dengan Abul Aswad Ad-Duali dari Bakr bin Abdi Mannah. Ia seorang yang faqih dan berpengetahuan di bidang bahasa Arab, termasuk dari tabiin terdahulu: Ia juga termasuk ahli Qira yang fasih, dalam hal al-Qur’an dan nahwu ia menyandarkan pada Abul Aswad. Nashr belajar Nahwu juga dari Yahya bin Ya’mur. Dari Abu Umar bin Ula dikatakan bahwa ia memiliki sebuah buku dalam bahasa Arab. Ia meninggal pada tahun 89 H.
Karakteristik periode ini:
a. Tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli Hadits.
b. Memiliki perhatia pada realitas lahn dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya.
c. Ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.
d. memberi titik mushaf dengan titik dan harakat atas nasihat dari Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi.
e. Terdapat tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu.
f. Belum terdapat peninggalan berupa tulisan.

GENERASI KETIGA
1. Abdullah bin Abu Ishak
Ia belajar al-Qur’an dari Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim dan belajar nahwu dari Maimun al-Aqran. Dikatakan bahwa ia belajar nahwu dari Yahya bin Ya’mur. Hatim meriwayatkan dari Dawud bin Zibriqah dari Qatadah bin Da’amah ad-Daus, ia berkata:”Orang pertama yang menyusun nahwu setelah Abul Aswad adalah Yahya bin Ya’mur, dan belajar darinya Abdullah bin Abu Ishak.\
2. Abu Umar bin Ula
Al-Riyasy meriwayatkan dari al-Ashma‘i, ia berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar:”Siapa namamu?” Ia menjawab:”Nama saya Abu Umar”. Abu Ubaidah berkata:”Abu Umar adalah manusia yang paling tahu di bidang sastra, bahasa Arab, al-Qur’an dan puisi”. Al-A‘shami berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar seribu pertanyaan, maka dia pun memberi jawaban dengan seribu hujjah”. Ia meninggal di Kufah pada tahun 154 H, ada pula yang mengatakan 159 H.
3. Isa binAmr ats-Tsaqfi
Ia belajar nahwu dari Abdullah bin Ishak dan Abu Umar al-Ula. Kemudian, Al-Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib dan Sibawaih.belajar darinya.
Karakteristik periode ini:
a. Dimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab.
b. Dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah.
c. Dimulai munculnya berbagai pendapat seperti terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr.
d. Munculnya pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda dari ulama Jumhur.
e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali yang diriwayatkan dari al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.

GENERASI KEEMPAT
1. Al-Akhfa al-Akbar
Ia berpendapat (طاءر الخفوف ) yang diriwayatkan oleh Ibn Duraid: tidak ada salah-seorang dari sahabat kita yang menyebutkan kata tersebut.
2. Al-Khalil bin Ahmad
Karya-karya al-Khalil:
Dalam bahasa:
a. KitabMa ‘anil-Huruf
b. Kitab an-Naqth wat-Tasykil
c. Kitab al-Jamal
d. Kitab asy-Syawahid
e. Kitab al-‘Ain
Dalam ilmu Arud:
a. Kitab al-Arudh
b. Kitab al-Farsy wal-Mitsal
Al-Khalil meninggal pada tahun 170 H.
3. Yunus bin Habib
Salah satu pendapatnya berkaitan dengan Nahwu bahwa tashgir untuk kata قبائل adalah قبيّل, sementara Khalil dan Sibawaih berpendapat قبيئل .
GENERASI KELIMA
1. Sibawaih
Karya Sibawaih adalah Kitab Sibawaih, tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Dalam menyusun kitab ini, Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki Khalil. Sibawaih meriwayatkan dalam kitabnya tentang para ahli nahwu, meskipun tidak jelas apakah dia bertemu mereka atau belajar dari mereka secara lisan, mereka itu adalah Abu Umar bin Ula, Abdullah bin Abi Ishak, Al-Ru’as dan para ahli Kuffah.
Tambahan
Ada dua sumber yang dipakai Sibawaih sebagai argumentasi dalam menguatkan pendapatnya mengenai sebuah persoalan tatabahasa, yaitu puisi Arab dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam kitabnya, Sibawaih menggunakan kurang lebih seribu lima ratus bait puisi. Banyak dari puisi-puisi tersebut tidak disebutkan sumbernya, entah karena penciptanya sudah meninggal atau memang tidak diketahui. Karena takut salah, kadang-kadang Sibawaih mencantumkan dua bahkan lebih sumber untuk satu puisi. Puisi-puisi itu ada yang dinyatakan bersumber dari gurunya atau dari pendengarannya sendiri. Syaikh Muhammad ath-Thanthawy menyatakan adanya tiga puluh satu puisi tanpa sumber yang jelas, sedangkan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Baghdady menyebut angka lima puluh. Berikut ini kami sampaikan pendapat beberapa ulama terkait puisi-puisi tanpa sumber ini.
1. ‘Uqaibah bin Hubairah al-Asady
مُعَـاوِىَ إِنَّـنَا بَشَـرٌ فَأَسْـجِحْ فَلَسْـنَا بِالْجِـبَالِ وَلاَ الْحَـدِيْـدَ ا
Sibawaih menyatakan bahwa kata الحديدا itu mansub karena ma‘thuf kepada kata الجبال . Kata الجبالitu sendiri mansub, sedangkan ba’ adalah zaidah. ‘Uqaibah menyatakan bahwa Qutaibah menyalahkan pendapat Sibawaih di atas dan kata الحديدا harus dibaca majrur sebagaimana umumnya qasidah puisi Arab. Al-Mubarrad juga mengikuti pendapat Qutaibah ini.
2. Nahsyal bin Hurry
لِيُـبْكَ يَـزِيْدٌ ضَـارِعٌ لِخُصُـوْمَـةٍ وَمُخْتَـبِطٌ مِمَّـا تُطِـيْحُ الطَـوَائِـحُ
Sibawaih menyatakan bahwa kata ضـارع marfu‘ karena merupakan naibul fa‘il yang sudah diketahui dari kata ليـبك . Nahsyal menyampaikan pendapat al-Ushmu‘i yang menyangkal pendapat ini, karena tidak ada na’ibul fa‘il dari fi‘l mahzhuf. Kata يـزيد harus tetap mansub, sedangkan kata ضـارع adalah fa‘il.
3. Al-Akhthal
كُرُّوْا إِلَى حَرَّتَيْكُمْ تَعْمُرُوْنَهَا كَمَا تَكِرُّ إِلَى أَوْ طَانِهَا الْبَقَرُ
Sibawaih menggunakan bentuk di atas untuk orang kedua ketika dia menggunakan bentuk حَرَّتـَيْكُـمْ تَعْـمُرُوْ نَهُـمَا . Al-Akhtal menyampaikan kritik Syaikh Muhammad ath-Thanthawy mengenai bait syair di atas. Bentuk di atas seharusnya digunakan untuk orang ketiga, bukan untuk orang kedua. Bagi ath-Thantawy, Sibawaih seharusnya menggunakan bentuk حَرَّتـَيْهِـمْ يَعْـمُرُوْ نَهُـمَا
Dalam menyusun kitabnya, Sibawaih telah menyusun materi-materi tatabahasa Arab dengan sistematis. Dari satu bagian ke bagian lain terdapat jalinan yang padu sehingga memudahkan para pembaca. Dalam akhir bagian selalu ada epilog yang menyambungkan dengan bagian sesudahnya. Tidak ada pemisahan pembahasan dalam setiap bagian. Pembahasan dalam kitab Sibawaih berdasar pada contoh-contoh asli bahasa Arab agar dapat langsung menentukan antara bentuk kalimat yang benar dan yang salah. Kitab itu sendiri terdiri atas 820 bab. Penyusunan bab-bab itu berbeda dengan umumnya penulis dalam beberapa hal, yaitu:
1. Urutan yang dipakai bukan pembahasan mengenai marfu‘at, kemudian manshubat, dan seterusnya, tetapi pembahasan dimulai dengan pembahasan fa‘il yang bersambung dengan pembahasan maf ‘ul, atau pembahasan mubtada’ yang disambung dengan pembahasan mengenai khabar.
2. Mendahulukan pembahasan yang seharusnya di akhir dan mengakhirkan pembahasan yang seharusnya di awal, misalnya mendahulukan pembahasan musnad ilaih dan baru disambung dengan pembahasan musnad.
3. Membahas dari masalah yang umum ke yang khusus, misalnya membahas tasghir secara umum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai berbagai macam bentuk tasghir.
4. Beberapa pembahasan dilakukan sampai selesai, misalnya pembahasan mengenai fa‘il dimulai dengan fa’il tanpa maf‘ul, fa‘il dengan satu maf‘ul, dan diakhiri fa‘il dengan dua maf’ul. Pada masa sekarang, pembahasan ini biasanya diletakkan pada pembahasan mengenai fi‘l muta‘adi dan lazim.

0 التعليقات:

إرسال تعليق