Test Footer 2

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

الاثنين، 17 ديسمبر 2012

STUDI NAHWU MAZHAB BASHRAH

STUDI NAHWU MAZHAB BASHRAH

Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana, mengalir sungai Tigris dan Euphrates yang bermuara ke laut. Basrah terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Bagdad. Namanya diperoleh dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural.
 
Madzhab Bashrah
Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh ‘Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sebagai murid dan sahabat (ashbahi) Abu al-Aswad yang paling cerdas. Kemudian setelah itu dilanjutkan oleh Maimun al-Aqran. Namun Abu ‘Ubaidah mengatakan bahwa Maimun adalah pelanjut setelah Abu al-Aswad. Kemudian setelahnya, barulah ‘Anbasah al-Fil, yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Ishaq al-Khadhramiy.
Selanjutnya adalah Nashr bin ‘Ashim al-Laitsiy dan Yahya bin Ya’mur. Nashr bin ‘Ashim al-Litsiy adalah salah seorang ahli qiraat dan balaghah. Di antara muridnya adalah Abu ‘Amr. Al-Zuhriy mengomentari Nashr:”Ia adalah orang yang sungguh sangat mahir dalam bahsa Arab.” Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang pertama meletakan bahasa Arab. Sedang Yahya bin Ya’mur adalah seorang yang sangat dikenal ilmu dan kefasihan bahsanya. Ia sangat dikenal dengan keilmuannya yang bersih dan sikap amanahnya. Ia telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya.
Perlu diketahui bahwa kedua ulama nahwu ini, telah melakukan lompatan yang besar dalam hal penulisan bahasa Arab, setelah Abu al-Aswad al-Dualiy. Mereka berdua membuat kreasi titik huruf-huruf baik satu atau dobel (dua), untuk membedakan huruf-huruf yang mirip, seperti ba, ya, dan nun. Mereka melakukan hal tersebut atas perintah al-Hajjaj bin Khathib, pada mushhaf utsman.
Yahya bin Ya’mur memiliki kelebihan dalam hal karangan. Diriwayatkan ketika Abu al-Aswad, Atha putera Abu al-Aswad dan dia melakukan perluasan kajian nahwu, seperti membuat bab-babnya dan menggali kias-kiasnya. Maka ketika bab-bab dan juz-juz telah cukup mumpuni, sebagian periwayat menisbatkan pada mereka berdua, bahwa yang pertama menletakan nahwu adalah mereka berdua.
Namun Nashr sampai sekarang masih terkenal sebagai orang yang membedakan huruf-huruf yang saling mirip dengan titik yang sudah dikenal. Dialah yang merubah susunan abjad Arab sehingga seperti sekarang ini. Lalu ia menggantikan titik-titik yang digunakan Abu al-Aswad digantikan dengan titik yang kita kenal sekarang yang dulunya hanya dengan alif (untuk bunyi fathah), wawu (untuk bunyi dhamah) dan ya (untuk bunyi kasrah). Abu al-Aswad memberi titik pada kata (kalimat), hanya untuk membedakan tiap akhir kata (baca: mengi’rabi). Sedang Nashr memberi titik pada kata, tujuanya adalah untuk membedakan tiap huruf bagi orang ‘Ajam (non-Arab), yang mana ketika itu masih sering terbalik antara satu huruf dengan yang lainnya yang terdapat kemiripan.
Dalam fase kedua, di antara ulama nahwu Bashrah terdapat nama Abu Amr bin al-‘Ala dan Abudullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Abu Amr adalah ulam yang terkenal dan gemilang dalam kajian Al-Qur’an, bahasa dan nahwu. Ia adalah salah seorang ahli qiraat sab’ah. Abu Ubaidah mengomentari dirinya:”Ia merupakan orang yang paling pintar dalam qiraat, bahasa Arab, fase-fase (sejarah) orang-orang Arab, dan sya’ir. Ia memiliki buku banyak, hingga menumpuk sampai langit-langit rumahnya. Ia menjadi rujukan banyak orang pada masanya. Di antara muridnya adalah Isa bin Umar, Yunus bin Hubaib, dan Abu al-Khaththab al-Akhfasy.”
Sedang Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhramiy adalah ulama nahwu yang sezaman dengan Abu Amr. Ia salah seorang ulama yang pernah menyalahkan Farazdaq dalam menggunakan bahasa dalam syi’ir gubahannya. Abu Amr lebih diunggulkan dalam bidang bahasa, sedang Abu Ishaq lebih diunggulkan dalam bidang nahwu. Abu ishaq merupakan orang yang paling pintar dan cerdas di Bashrah. Ia adalah orang yang mengklasifikasikan pembahasan nahwu dan membuat kias. Dikatakan bahwa ia adalah ulama yang pertama membuat menta’lil nahwu.
Ulama selanjutnya adalah Isa bin Umar al-Tsaqafiy, sahabat Khalid bin Walid. Ia berguru pada Abu Amr bin al-Ala dan Abdullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Ia dianggap sebagai salah seorang yang ahli qiraat Bashrah. Ia juga menjadi imam dalam bidang bahasa Arab dan nahwu. Barangkali ia adalah orang yang pertama menyusun kitab yang lengkap dalam kedua bidang tersebut. Kedua kitabnya cukup terkenal, walau tidak ada berita yang sampai pada kita mengenai kedua kitab tersebut. Hanya saja Khalil bin Ahmad sebagai muridnya, pernah membaca dan merawatnya.
Isa bin Umar merupakan guru dari ulama-ulama Bashrah yang terkenal seperti Khalil, Sibawaih dan Abu Zaid al-Anshari. Juga guru dari Abu Ja’far al-Ruasiy yang kelak menjadi perintis madzhab Kufah, yang mana murid-muridnya adalah al-Kisaiy dan al-Farra.
Adapun Khalil bin Ahmad merupakan puncaknya dalam penggalian masalah-masalah nahwu dan mensahkan penggunaan kias dalam nahwu. Ia merupakan orang yang meletakan kaidah-kaidah arudh (wazan syi’ir Arab klasik). Ia mengarang sebuah kitab yang sangat terkenal kitab al-‘Ain yang membuat batasan-batasan bahasa Arab. Ia merupakan guru Sibawaih. Dalam kitab¬-nya yang terkenal, Sibawaih banyak meriwayatkan darinya. Setiap Sibawaih berkata سألته atau قال tanpa disebutkan subjeknya, maka maksudnya adalah Khalil.
Abu Zaid adalah seorang yang sangat jujur dan terpercaya dalam periwayatan. Kendati ia dalam bidang nahwu lebih unggul daripada al-Ashma’iy dan Abu Ubaidah, namun ia pun banyak mengarang dalam bidang bahasa, nawadir (anekdot), dan al-gharib.
Para ulama Bashrah memiliki tradisi kunjungan ke qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalam-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya. Mereka beranggapan bahwa bahasa Arab yang asli hanyalah ada di sana. Karena qabilah di pedalaman belum banyak berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar, jadi bahasanya pun masih asli terjaga. Maka jika ingin mengetahui bahasa Arab yang baik dan benar, maka datanglah ke qabilah-qabilah di pedalaman. Begitulah barang kali anggapan ulama Bashrah mengenai keaslian bahasa Arab yang akan dijadikan rujukan.
Di antara qabilah yang paling sering mereka kunjungi adalah Tamim dan Qais. Karena kedua qabilah itu belum bercampur dengan masyarakat di luar Arab (‘ajam). Dengan begitu bahasanya akan senantiasa terjaga. Di Bashrah terdapat pasar yang cukup terkenal, yaitu al-Mirbad. Qabilah-qabilah pedalaman Arab pun pada berdatangan mengunjunginya dengan tujuan berniaga. Pasar ini tak jauh beda seperti Ukazh dulu, yaitu selain tempat berdagang, juga tempat perlombaan sya’ir dan saling membanggakan antar qabilah. Penduduk qabilah-qabilah badwi selalu mendatanginya dengan tujuan untuk mengais rezeki dari sana. Kondisi ini sangat memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kefashihan bahasa penduduk Bashrah dan keterjagaan bahasa mereka. Dengan begitu, interaksi kaum pedalaman Arab (Arab badwi) dengan ulama Bashrah tidak hanya terjadi di kampung-kampung Badwi, tetapi juga di pasar al-Mirbad.
Struktur Bangunan
Bangsa Arab adalah bangsa Baduwi. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang di daerah pedalaman. Tempat gembala mereka adalah padang sahara, makanan mereka bersumber dari alam, dan minuman mereka berasal dari air hujan yang alami pula. Mereka pun menghirup udara yang bersih. Kondisi seperti inilah yang tidak mungkin memisahkan dan menjauhkan mereka dari alam, karena alam merupakan tempat tinggal mereka, tempat sekawanan ternak yang mereka miliki dan asas kehidupan mereka, sehingga tatkala mereka keluar untuk menaklukkan negara-negara yang berdekatan, mereka sangat rindu untuk kembali ke pedalaman dan kangen akan padang sahara.
Tatkala khalifah Umar bin al-Khattab menaklukkan Persia, ia mengutus Matsna bin Harits asy-Syaibani untuk melakukan serangan ke hutan, sebagai persiapan untuk melakukan penaklukkan besar-besaran. Kemudian, ditugaskan pula Sa’d bin Abi Waqash untuk menaklukkan kota-kota. Beliau juga mengutus tentara yang dipimpin ‘Utbah bin Ghazwan untuk mempersulit posisi penduduk Ahwaz, Persia dan bergerak membantu saudara mereka yang sedang berperang yaitu Sa’ad bin Abi Waqash.
Ketika ‘Utbah pergi ke selatan Irak, ia bertemu dengan Suwaid bin Qutbah adz-Dzuhli beserta kekuatan dari bani Bakr bin Wail dan bani Tamim yang sedang bergerak mendekati pasukan yang berdekatan dengan mereka di Persi. ‘Utbahpun menyatukan tentara Suwaid dengan pasukannya dan mereka tingal di tenda-tenda. Akan tetapi ‘Utbah berpendapat bahwa pasukannya membutuhkan tempat tinggal yang bisa dipakai lagi jika kembali dari berperang dan melindungi mereka dari dinginnya hujan. Dia pun menulis surat pada Khalifah untuk meminta ijin tentang gagasannya tersebut. Umar membalas dengan pernyataan: “kumpulkanlah pasukanmu di satu tempat yang dekat dengan air dan terjaga, jangan ada gunung dan sungai yang memisahkan kita, dan tuliskanlah sifat tempat yang kau maksud”. Maka ‘Utbah menulis:“sesungguhnya hamba menemukan tempat yang tanahnya berkerikil, yang berada diujung pedalaman, terdapat air dan buluh di dalamnya”. Umar mengatakan:“sesungguhnya inilah Bashrah, dekat dengan sumber air, tempat perlindungan, dan juga tempat mencari kayu bakar”. Beliau menyepakatinya untuk dijadikan tempat pemukiman tentara.
Bashrah: Pionir bagi Ilmu Nahwu
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Nahwu tumbuh dan berkembang di tangan para ulama Bashrah. Sebenarnya Kufah telah melakukan hal yang sama, namun bagaimanapun juga, Bashrahlah sebagai pionir dan yang paling awal dalam hal ini. Ketika para ulama Kufah mulai sibuk dengan Nahwu mutakkhir kira-kira sepadan dengan ilmuwan Bashrah di era sempurna. Terciptanya kondisi Bashrah seperti ini tidak lepas dari beberapa hal berikut:
1. Letak Geografis
Bashrah terletak pada jarak tiga ratus mil ke arah tenggara dari kota Bagdad, terdapat sungai Tigris dan Euphrates yang mengalir dan bermuara di laut. Kondisi strategis seperti ini tentunya akan berpengaruh kuat terhadap pembentukan personalitas penduduk, dan membuat mereka terkenal juga kematangan berfikir. Letak kota Bashrah yang berada di pinggir pedalaman, fasih bahasa yang murni, dan terbebas dari cacat lachn dan kata-kata asing. Di sana terdapat para ilmuwan yang kadangkala melakukan perjalanan ke pedalaman, namun adakalanya membawa orang Badui ke kota mereka. Di tengah perjalanan, biasanya mereka bertemu dengan orang Arab asli dan melakukan pembicaraan dari sumber bahasa yang asli. Orang yang terkenal melakukan perjalanan ke pedalaman untuk melakukan survey bahasa dan mengumpulkannya adalah Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib, Nadhar bin Syamil, dan Abu Zaid al-Anshari. Hal ini tampak jelas sekali dari perkataan Khalil ketika ditanyai oleh al-Kisai tentang sumber-sumber ilmunya (pedalaman Hijaz, Najd dan Tihama), maka dengan serta merta, al-Kisai pun keluar menuju pedalaman dan menghabiskan lima belas botol tinta untuk menulis bahasa Arab selain dari yang sudah dihafalnya. Kedatangan orang-orang Badui dari pedalaman ke Bashrah sungguh telah memberikan gambaran yang beraneka ragam. Dari mereka yang tinggal hanya untuk sementara kemudian kembali ke pedalaman dan adapula yang tinggal cukup lama dan baru kembali ke qabilah mereka, bahkan jika ada yang mendapatkan tempat yang nyaman di Bashrah mereka tidak kembali. Banyak para siswa yang belajar bahasa menemui orang-orang Badui untuk mendengar percakapan mereka dan mengambilnya.
Mengingat Bashrah sebagai pelabuhan perdagangan bagi Irak di teluk Arab, maka datanglah unsur-unsur asing yang berimbas pada kemajuan di bidang perdangan dan investasi. Dari sinilah terjadi pertemuan antara orang-orang Arab, Persia dan India, sekaligus merupakan perjumpaan antara agama Nasrani, Yahudi, Majusi dan Islam. Kedekatan Bashrah dengan madrasah Gandisabur di Persia yang mempelajari kebudayaan Persia, Yunani dan India telah menghantarkan pada pertautan kebudayaan secara menyeluruh. Maka mucullah upaya penerjemahan pada masa Umar bin Abdul Aziz yang dilakukan oleh Masir Haubah dengan menerjemahkan buku kedokteran. Hal yang sama Abdullah al-Muqaffa’ yang pandai berbahasa Arab dan Persia. Dia menerjemahkan peningalan-peninggalan sejarah dan sastra Persia ke dalam bahasa Arab. Dari putranya yang bernama Muhammad, lahirlah terjemahan bahasa Arab untuk ilmu mantiq-nya Aristoteles dan terjemahan Kalilah wa Dimnah. Terdapat juga penerjemah Yahudi yang bernama Hunain bin Ishaq yang menerjemahkan buku-buku dan mendapat imbalan berupa emas untuk setiap timbangannya. Di Bashrah, terdapat aliran Ayi’ah dan Mu’tazilah yang telah membuka lebar pengambilan keilmuan Yunani. Ini sangat berpengaruh dalam mazhab ilmu kalam mereka dan juga berimbas pula pada ilmu nahwu dalam hal taqsim, ta’lil, ta’wil dan qiyas.
2. Stabilitas Sosial
Bashrah adalah kota yang aman dan stabil serta terlepas dari istabilitas politik dan pertentang mazhab. Kondisi seperti ini telah menghantarkan Bashrah menjadi kota yang berperadaban, disibukkan dengan berbagai aktifitas keilmuan, dan memanfaatkan anekaragam kebudyaan. Terjadilah pertemuan keilmuan yang berbeda dan muncul pulalah mazhab-mazhab agama dan fisafat. Kehidupan yang stabil ini juga menuntut kehidupan intelektualitas yang tertib.
3. Pasar Mirbad
Pasar Mirbad adalah pasar yang sangat terkenal, terletak di pintu barat kota Bashrah. Dulu pasar ini dinamai Pasar Unta (suq ibil) karena terbatas hanya pada penjualan unta, kemudian dinamakan Mirbad karena unta ditinggalkan di tempat tersebut. Oleh karena itu, setiap tempat yang digunakan untuk menambatkan unta dinamakan mirbad. Kemudian jadilah tempat tersebut tempat yang terkenal dan di sana diadakan unjuk kebolehan di bidang puisi dan khitabah. Adapun sebab didirikannya pasar Mirbad adalah karena orang-orang Arab yang datang ke Bashrah dari tengah Jazirah Arab menemukan di pinggiran kota tersebut tempat yang nyaman untuk menunda perjalanan. Mereka kemudian menjadi penduduk Bashrah. Mereka menanti di tempat tersebut untuk berdagang dan saling bertukar hal-hal yang bermanfaat. Alangkah cepatnya tempat tersebut menjadi pasar besar yang sibuk dengan perdagangan di mana para empunya adalah para penyair dan sastra sehingga hiduplah nuansa satra. Merekapun bersaing di Ukaz dalam keindahan.
4. Mesjid Bashrah
Terdapat berbagai macam majelis di dalam mesjid tersebut diantaranya majelis kajian tafsir, ilmu kalam, bahasa dan lain-lain. Para imamnya adalah penduduk Bashrah sendiri yang berbangsa Arab, Persia dan India dan sebagian lagi orang-orang Badui yang datang dari pedalaman. Diantara majelis-majelis yang ada adalah sebagai berikut:


1. Majelis Himad bin Sulmah. Sibawaih ikut bergabung dalam majelis tersebut.
2. Majelis Musa bin Siyar al-Aswari. Jahizd berkomentar tentangnya:“Ini merupakan keajaiban. Dia sangat fasih berbahasa Persia sama halnya dengan bahasa Arabnya. Dia duduk di majelisnya yang terkenal itu, sementara di sebelah kanannya orang Arab dan di sebelah kirinya orang Persi. Dia pun mulai membacakan al-Qur’an dan menafsirkannya dengan orang Arab menggunakan bahasa Arab dan berpaling ke orang-orang Persi dan manfsirkan ayat al-Qur’an dengan bahasa Persia”.
3. Majelis Abu Umar bin al-Ila. Dia megajar qira’ah, bahasa, dan nahwu. Murid-muridnya berdesak-desakan di dalamnya. Suatu ketika, Hasan al-Bashri lewat dan menyaksikan betapa berjejalnya murid-murid yang mengikuti majelis tersebut maka ia pun berkata:” la ila ha illallah, hampir para ulama menjadi tuhan-tuhanan, setiap kemualian tidak dibentengi dengan ilmu maka kehinaanlah yang berkuasa”
4. Di antara majelis-majelis Bashrah yang paling terkenal adalah majelis Khalil bin Ahmad al-Farahidi, yang diikuti para murid yang kemudian menjadi pakar bahasa dan nahwu semisal: Sibawaih, an-Nadhar bin Syamil, Ali bin Hamzah al-Kisai, Abi Muhammad al-Yazidi, al-Ashmai dan yang lainnya.
5. Majelis Yunus bin Habib yang dipenuhi pula murid-muird. Di antara para pemimpin majelis ini yang terkenal adalah Abu Ubaidah, al-Ashmai, Abu Zaid al-Anshari, Abu Muhammad al-Yazidi, Qathrab, Sibawaih, Abu Umar al-Jurmi, al-Kisai, al-Farra’, Khalf Ahmar dan Ibnu Salam al-Jum’i. Halaqah Yunus dimulai pada masa Khalil dan mencapai kesempurnaan setelah wafatnya. Banyak tergabung para tokoh ke dalam majelis Yunus tersebut. Tentang majelis Yunus ini, Marwan bin Abi Hafsah berkata:“Saya belum pernah melihat halaqah yang paling mulia kecuali halaqah-nya Yunus”.


Basrah Mengembangkan Ilmu Nahwu
Pada awal perkembangannya, nahw masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil. Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra. Ilmu ini mendapat iklim yang bagus untuk berkembang di Basrah sesuai dengan keadaan Basrah waktu itu. Ilmu nahw sangat diperlukan di Basrah karena sangat banyak kesalahan bahasa di sana. Kaum muslim non Arab di Basrah sangat membutuhkan ilmu nahw untuk memperbaiki bahasa, menghilangkan pengaruh bahasa asing, mendalami agama Islam, dan meningkatkan kedudukan mereka di kalangan orang Arab. Setelah Abu al-Aswad membangun sistematika ilmu nahw, ternyata orang Arab juga membutuhkannya dalam berbahasa. Setelah masa Abu al-Aswad, perbedaan mulai timbul di antara para muridnya, seperti ‘Abdurrahman bin Hurmuz, Maimun al-Aqran, ‘Anbasah al-Fil, Yahya bin Ya‘mur, Nasr bin ‘Asim, dan juga para murid berikutnya, seperti ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Ala, dan Yunus bin Habib.
Terkait dengan perkembangan ilmu nahw, ada lima tahap perkembangan yang penting untuk diketahui, yaitu:
1. Penggunaan contoh dan dalil.
Cara ini dipakai agar pendapat yang diambil benar dan sesuai dengan perkataan orang Arab. Abu al-Aswad memakai cara ini ketika Bani Qusyair mempertanyakan masuknya dia ke dalam kelompok Syiah. Kemudian Abu al-Aswad mengucapkan sebuah syair yang berbunyi
ولست بمخطئ إن كان غيا فإن يك حبهم رشدا أصبه
Syair ini adalah bukti bahwa Abu al-Aswad tidak ragu-ragu. Pendapat Abu al-Aswad terkait dengan hak untuk berbeda pendapat. Dia menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dalil, yaitu ayat yang berbunyi:
وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضلال مبين (سبأ : 24)
Pada kesempatan yang lain, Abu al-Aswad juga menjelaskan bolehnya menggunakan perkataan لولاي . Hal ini sesuai dengan sebuah syair yang berbunyi:
وكم موطن لولاي طيحت كما هوى # بأجرامه من قنة النيق منهرى
2. Penggunaan pendapat ulama terdahulu.
Hal ini misalnya yang terjadi pada ‘Abdullah bin Abi Ishaq yang membaca:
قل هو الله أحدٌ الله الصمد
Kemudian dia mendengar Nasr bin ‘Asim membacanya dengan cara:
قل هو الله أحدُ الله الصمد
karena bertemunya dua tanwin. ‘Abdullah mengatakan kepada Nasr bahwa ‘Urwah membaca ayat tersebut dengan tanwin, tetapi Nasr mengatakan bahwa bacaan ‘Urwah tidak baik. Maka ‘Abdullah membaca ayat tersebut tanpa tanwin seperti yang dikatakan oleh Nasr.
3. Perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat ini terkait dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri oleh para ahli nahw. Sebagai contoh adalah ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang membaca ayat dengan bacaan:
أو يأتيهم العذاب قُبُلاً (الكهف : 55)
Hal ini berbeda dengan ‘Isa bin ‘Umar yang membaca:
أو يأتيهم العذاب قِبَلاً (الكهف : 55)
‘Abdullah bin Abu Ishaq juga membaca beberapa ayat dengan cara berbeda, misalnya:
يا ليتنا نردَ ولا نكذبَ بآيات ربنا ونكونَ من المؤ منين (الأنعام : 27)
والزانيةَ والزانيَ (النور : 2) dan والسارقَ والسارقةَ (المائدة : 38)
4. Pemeriksaan dan Penafsiran
Para ahli nahw mulai memeriksa kaidah dan menafsirkan teks sesuai dengan kaidah yang mereka susun. Sebagai contoh adalah perbedaan penafsiran antara ‘Isa bin ‘Umar dan ‘Amr bin al-‘Ala. Keduanya membaca sebuah ayat dengan cara yang sama, yaitu ayat: يا جبال أوبي معه والطيرَ (سبأ : 10) . Akan tetapi, keduanya berbeda dalam penafsiran. Bagi ‘Isa, cara pembacaan seperti di atas terkait dengan adanya nida’, sedangkan Abu ‘Amr menyatakan adanya idmar dengan سَخَّرْنَا seperti dalam ayat yang berbunyi: ولسليمان الريحَ (سبأ : 12) .
6. Pemberlakuan Aturan Nahw.
Pemberlakuan ini dilakukan oleh para ahli nahw terkait dengan penggunaan bahasa Arab di kalangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Abu Muslim yang menjadi pengajar khalifah Malik bin Marwan. Dia bertanya kepada seseorang mengenai ayat:(تأزهم أزا (مريم : 83 dan إذا الموءودة سئلت (التكوير : 8) ketika dipakai dalam contoh ungkapan يا فاعلٌ افعلْ . Maka orang itu menjawab dengan perkataan: يا آز اُز dan يا وائد اِد . Maka Abu Muslim merasa bahwa perkataan ini tidak pernah didengarnya dari orang Arab dan memutuskan untuk tidak digunakan di kalangan umat Islam.

GENERASI NAHWU MADZHAB BASHRAH
GENERASI PERTAMA
1. Abul Aswad Ad-Duali
Nama lengkapnya Dzhalim bin Umar bin Supyan bin Jundal bin Ya’mur bin Halis bin Nufatsah bin ‘Uda ibn Du’al bin Abdu Manah bin Kinanah, dikatakan juga bernama Utsman. Dia seorang penduduk Bashrah dan memiliki kekuatan ingatan. Abul Aswad termasuk orang yang fasih bacaannya. Dia belajar qira’ah dari Utsman bin ‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, yang meriwayatkan qira’ahnya adalah putranya sendiri Abu Harb dan Yahya bin Ya’mur. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang menyusun ilmu Nahwu setelah mendapat rekomendasi dari Ali r.a. Abul Asawad meninggal di Bashrah pada tahun 69 H, pada usia delapan puluh lima tahun ketika terjadi wabah pes, namun adapula yang mengatakan bahwa ia wafat sebelum terjadinya wabah pes.
2. Abdurrahman bin Hurmuz
Nama lengkapnya Abu Dawud Abdurrahman bin Hurmuz bin Abi Sa’ad al-Madini al-A’raj, hamba Ibnu Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Muthalib. Abdullah bin al-Hai’ah meriwayatkan dari Abi Nadhr bahwa Abdurahman bin Hurmuz adalah orang pertama yang menyusun bahasa Arab dan dialah orang pertama yang paling tah ilmu nahwu dan seorang keturunan Quraisy. Abdurrahman bin Hurmuz termasuk ahli qari dan juga termasuk rijalul hadits. Ini diriwayatkan dari Abdullah bin Bahinah, Abu Hurairah dan Abdurrahman bin Abdul Qari. Ia termasuk ahli fiqih dan berbeda pendapat dengan Malik bin Anas, ilmu yang diperdebatkan adalah mengenai ushul al-din. Abdurrahman bin Hurmuz pindah ke Iskandariah, dan bermukim di sana sampai wafat pada tahun 117 H.
Karakteristik periode ini:
a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits.
b. Memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena terlarang ini.
c. Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap lahn dalam al-Qur’an.
d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.
e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan tentang GENERASI ini kecuali riwayat yang diklaim oleh Ibn Nadiim dan Qifthi.

GENERASI KEDUA
1. Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi
Abu Sulaiman Yahya bin Ya’mur bin Wasyqah bin Auf bin Bakr bin Yaskur bin Udwan ibn Qais bin Ilan bin Mudhar. Dia dari golongan Bani Laits. Ibnu Ya’mur termasuk orang yang belajar dari Abul Aswad mengenai memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.

2. Maimun Al-Aqran
Abu Abdullah Maimun Al-Aqran, dipanggil juga Maimun bin al-Aqran. Belajar Nahwu dari Abul Aswad. Abu Ubaidah berkata:”Orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu adalah Abul Aswad Ad-Duali, kemudian Maimun al-Aqran, kemudian Anbasah al-Fail, dan Abdullah bin Abi Ishaq”.
3. Anbasah Al-Fil
Anbasah bin Mu’dan al-Misani al-Mahri. Orangtuanya (Mu’dan) adalah dari Misan, kemudian berpindah ke Bashrah dan bermukim di sana
4. Nashr bin Ashim Al-Laitsi
Nama lengkapnya Nashr bin Ashim bin Umar bin Khalid bin Hazm bin As’ad bin Wadi’ah bin Malik bin Qais bin Amir bin Laits bin Bakr bin Abdi Manah bin Ali bin Kinanah. Dalam hal keturunan ia bertemu dengan Abul Aswad Ad-Duali dari Bakr bin Abdi Mannah. Ia seorang yang faqih dan berpengetahuan di bidang bahasa Arab, termasuk dari tabiin terdahulu: Ia juga termasuk ahli Qira yang fasih, dalam hal al-Qur’an dan nahwu ia menyandarkan pada Abul Aswad. Nashr belajar Nahwu juga dari Yahya bin Ya’mur. Dari Abu Umar bin Ula dikatakan bahwa ia memiliki sebuah buku dalam bahasa Arab. Ia meninggal pada tahun 89 H.
Karakteristik periode ini:
a. Tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli Hadits.
b. Memiliki perhatia pada realitas lahn dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya.
c. Ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.
d. memberi titik mushaf dengan titik dan harakat atas nasihat dari Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi.
e. Terdapat tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu.
f. Belum terdapat peninggalan berupa tulisan.

GENERASI KETIGA
1. Abdullah bin Abu Ishak
Ia belajar al-Qur’an dari Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim dan belajar nahwu dari Maimun al-Aqran. Dikatakan bahwa ia belajar nahwu dari Yahya bin Ya’mur. Hatim meriwayatkan dari Dawud bin Zibriqah dari Qatadah bin Da’amah ad-Daus, ia berkata:”Orang pertama yang menyusun nahwu setelah Abul Aswad adalah Yahya bin Ya’mur, dan belajar darinya Abdullah bin Abu Ishak.\
2. Abu Umar bin Ula
Al-Riyasy meriwayatkan dari al-Ashma‘i, ia berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar:”Siapa namamu?” Ia menjawab:”Nama saya Abu Umar”. Abu Ubaidah berkata:”Abu Umar adalah manusia yang paling tahu di bidang sastra, bahasa Arab, al-Qur’an dan puisi”. Al-A‘shami berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar seribu pertanyaan, maka dia pun memberi jawaban dengan seribu hujjah”. Ia meninggal di Kufah pada tahun 154 H, ada pula yang mengatakan 159 H.
3. Isa binAmr ats-Tsaqfi
Ia belajar nahwu dari Abdullah bin Ishak dan Abu Umar al-Ula. Kemudian, Al-Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib dan Sibawaih.belajar darinya.
Karakteristik periode ini:
a. Dimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab.
b. Dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah.
c. Dimulai munculnya berbagai pendapat seperti terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr.
d. Munculnya pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda dari ulama Jumhur.
e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali yang diriwayatkan dari al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.

GENERASI KEEMPAT
1. Al-Akhfa al-Akbar
Ia berpendapat (طاءر الخفوف ) yang diriwayatkan oleh Ibn Duraid: tidak ada salah-seorang dari sahabat kita yang menyebutkan kata tersebut.
2. Al-Khalil bin Ahmad
Karya-karya al-Khalil:
Dalam bahasa:
a. KitabMa ‘anil-Huruf
b. Kitab an-Naqth wat-Tasykil
c. Kitab al-Jamal
d. Kitab asy-Syawahid
e. Kitab al-‘Ain
Dalam ilmu Arud:
a. Kitab al-Arudh
b. Kitab al-Farsy wal-Mitsal
Al-Khalil meninggal pada tahun 170 H.
3. Yunus bin Habib
Salah satu pendapatnya berkaitan dengan Nahwu bahwa tashgir untuk kata قبائل adalah قبيّل, sementara Khalil dan Sibawaih berpendapat قبيئل .
GENERASI KELIMA
1. Sibawaih
Karya Sibawaih adalah Kitab Sibawaih, tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Dalam menyusun kitab ini, Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki Khalil. Sibawaih meriwayatkan dalam kitabnya tentang para ahli nahwu, meskipun tidak jelas apakah dia bertemu mereka atau belajar dari mereka secara lisan, mereka itu adalah Abu Umar bin Ula, Abdullah bin Abi Ishak, Al-Ru’as dan para ahli Kuffah.
Tambahan
Ada dua sumber yang dipakai Sibawaih sebagai argumentasi dalam menguatkan pendapatnya mengenai sebuah persoalan tatabahasa, yaitu puisi Arab dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam kitabnya, Sibawaih menggunakan kurang lebih seribu lima ratus bait puisi. Banyak dari puisi-puisi tersebut tidak disebutkan sumbernya, entah karena penciptanya sudah meninggal atau memang tidak diketahui. Karena takut salah, kadang-kadang Sibawaih mencantumkan dua bahkan lebih sumber untuk satu puisi. Puisi-puisi itu ada yang dinyatakan bersumber dari gurunya atau dari pendengarannya sendiri. Syaikh Muhammad ath-Thanthawy menyatakan adanya tiga puluh satu puisi tanpa sumber yang jelas, sedangkan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Baghdady menyebut angka lima puluh. Berikut ini kami sampaikan pendapat beberapa ulama terkait puisi-puisi tanpa sumber ini.
1. ‘Uqaibah bin Hubairah al-Asady
مُعَـاوِىَ إِنَّـنَا بَشَـرٌ فَأَسْـجِحْ فَلَسْـنَا بِالْجِـبَالِ وَلاَ الْحَـدِيْـدَ ا
Sibawaih menyatakan bahwa kata الحديدا itu mansub karena ma‘thuf kepada kata الجبال . Kata الجبالitu sendiri mansub, sedangkan ba’ adalah zaidah. ‘Uqaibah menyatakan bahwa Qutaibah menyalahkan pendapat Sibawaih di atas dan kata الحديدا harus dibaca majrur sebagaimana umumnya qasidah puisi Arab. Al-Mubarrad juga mengikuti pendapat Qutaibah ini.
2. Nahsyal bin Hurry
لِيُـبْكَ يَـزِيْدٌ ضَـارِعٌ لِخُصُـوْمَـةٍ وَمُخْتَـبِطٌ مِمَّـا تُطِـيْحُ الطَـوَائِـحُ
Sibawaih menyatakan bahwa kata ضـارع marfu‘ karena merupakan naibul fa‘il yang sudah diketahui dari kata ليـبك . Nahsyal menyampaikan pendapat al-Ushmu‘i yang menyangkal pendapat ini, karena tidak ada na’ibul fa‘il dari fi‘l mahzhuf. Kata يـزيد harus tetap mansub, sedangkan kata ضـارع adalah fa‘il.
3. Al-Akhthal
كُرُّوْا إِلَى حَرَّتَيْكُمْ تَعْمُرُوْنَهَا كَمَا تَكِرُّ إِلَى أَوْ طَانِهَا الْبَقَرُ
Sibawaih menggunakan bentuk di atas untuk orang kedua ketika dia menggunakan bentuk حَرَّتـَيْكُـمْ تَعْـمُرُوْ نَهُـمَا . Al-Akhtal menyampaikan kritik Syaikh Muhammad ath-Thanthawy mengenai bait syair di atas. Bentuk di atas seharusnya digunakan untuk orang ketiga, bukan untuk orang kedua. Bagi ath-Thantawy, Sibawaih seharusnya menggunakan bentuk حَرَّتـَيْهِـمْ يَعْـمُرُوْ نَهُـمَا
Dalam menyusun kitabnya, Sibawaih telah menyusun materi-materi tatabahasa Arab dengan sistematis. Dari satu bagian ke bagian lain terdapat jalinan yang padu sehingga memudahkan para pembaca. Dalam akhir bagian selalu ada epilog yang menyambungkan dengan bagian sesudahnya. Tidak ada pemisahan pembahasan dalam setiap bagian. Pembahasan dalam kitab Sibawaih berdasar pada contoh-contoh asli bahasa Arab agar dapat langsung menentukan antara bentuk kalimat yang benar dan yang salah. Kitab itu sendiri terdiri atas 820 bab. Penyusunan bab-bab itu berbeda dengan umumnya penulis dalam beberapa hal, yaitu:
1. Urutan yang dipakai bukan pembahasan mengenai marfu‘at, kemudian manshubat, dan seterusnya, tetapi pembahasan dimulai dengan pembahasan fa‘il yang bersambung dengan pembahasan maf ‘ul, atau pembahasan mubtada’ yang disambung dengan pembahasan mengenai khabar.
2. Mendahulukan pembahasan yang seharusnya di akhir dan mengakhirkan pembahasan yang seharusnya di awal, misalnya mendahulukan pembahasan musnad ilaih dan baru disambung dengan pembahasan musnad.
3. Membahas dari masalah yang umum ke yang khusus, misalnya membahas tasghir secara umum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai berbagai macam bentuk tasghir.
4. Beberapa pembahasan dilakukan sampai selesai, misalnya pembahasan mengenai fa‘il dimulai dengan fa’il tanpa maf‘ul, fa‘il dengan satu maf‘ul, dan diakhiri fa‘il dengan dua maf’ul. Pada masa sekarang, pembahasan ini biasanya diletakkan pada pembahasan mengenai fi‘l muta‘adi dan lazim.

TOKOH MADZHAB ANDALUSIA MODERN

TOKOH MADZHAB ANDALUSIA MODERN
Madzhab Andalusia mulai memperhatikan ilmu nahwu pada abad ke-17. Di antara tokoh madzhab Andalusia modern, yaitu:
1). Ibnu al-Hajj
- Nama aslinya yaitu Abu al-Abas Ahmad bin Muhammad al-Azadi.
- Wafat tahun 651 H
- Masyhur dengan penjelasannya tentang buku karangan Imam Sibawaih dan kitab “Sir as-Sina’ah” karangan Ibnu Jinni dan masih banyak kitab-kitab yang lain.
- Dia berpegangan pada pendapat Ibnu Mubarrad, bahwa “kaana” adalah huruf dan bukan sebagai fi’il (kata kerja).
- Ia berpendapat bahwa “kaana” tidak menunjukkan pada pekerjaan, tapi termasuk isim dan khabarnya yang mempunyai faedah menunjukkan arti lampau pada khabar.
- Isim isyarah tidak bisa menggantikan rabith untuk jumlah khabariah, kecuali apabila mubtada’nya berupa isim mausul atau mausuf.
2). Ibnu ad-Dhoi’
- Nama aslinya yaitu Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Katami al-Ubadi
- Wafat tahun 688 H
- Pernah memberikan syarah (penjelasan) tentang buku karangan Imam Sibawaih, yang di kombinasikan dengan syarah Imam Syairofi dan Ibnu Kharuf.
- Menyangkal pendapat Ibnu Ushfur, yang mengatakan bahwa lam mustaghats li ajlih, seperti dalam kalimat يا لزيد لعمرو terkait dengan fi’il yang dibuang, yang dikira-kirakan ادعوك لعمرو hingga huruf nida (يا) tidak terkait dengan fiil yang dibuang tersebut. Sedeng Ibnu ad-Dhoi’ sendiri berpendapat bahwa keduanya (huruf nida dan fi’il yang dibuang) tersebut mempunyai perbedaan makna.
- Setuju dengan pendapat Suhaili tentang keharusan adanya pertentangan pada ma’thufnya لا, seperti kalimat جاءني رجل لا امرأة
3). Ibnu Abi ar-Rabi’
- Nama aslinya adalah Ubaidillah bin Ahmad al-Umawi al-Isybili
- Wafat tahun 688 H
- Memberikan syarah (penjelasan) tentang buku karangan Imam Sibawaih, Al-Farisi, dan az-Zujaji yang tersusun sampai 10 jilid.
- Berpendapat bahwa apabila huruf ليت bertemu dengan sesuatu yang bisa masuk pada fi’il, seperti ليتما قام زيد dan seperti kalimat ليتما زيدا أكلمه (kata زيد dibaca nashab karena isytighal). Sedang mayoritas ahli nahwu berpendapat bahwa kata زيد adalah isim dari ليت
- Mengatakan bahwa kata عيونا dalam kalimat وفجّرنا الارض عيونا adalah badal dari kata الأرض
4). Qasim bin Ali
- Murid dari Ibnu Ushfur
- Berpendapat bahwa khobar itu bisa athaf pada insya’ begitupula sebaliknya. Ia berhujjah dengan firman Allah SWT : وبشر الذين آمنوا وعملوا الصالحات yang di athafkan pada kalimat فإن لم تفعلوا فاتقوا النار التى وقودها الناس والحجارة أعدت للكافرين
5). Abu Ja’far
- Nama aslinya lengkapnya yaitu Ahmad bin Ibrahim bin Zubair.
- Wafat tahun 710 H .
- Darinya lahir ahli nahwu terkemuka di Andalusia setelah Ibnu Malik, yaitu Abu Hayyan.
6). Abu Hayyan
- Nama aslinya adalah Atsir ad-Din bin Yusuf al-Gharnathi al-Andalusi
- Wafat tahun 745 H
- Dalam bidang nahwu, ia merupakan murid dari Abu Ja’far dan Ibnu ad-Dhoi’.
- Ahli dalam ilmu tafsir, hadits, qira’at, dan sejarah.
- Darinya lahir para ahli nahwu Mesir, seperti: Ibnu ‘Ufail dan Ibnu Ummu Qasim.
- Mengatakan bahwa buku nahwu klasik terbaik adalah karangan Imam Sibawaih, buku kalangan modern terbaik adalah “Tashil” karangan Ibnu Malik, dan “Mumthi’” karangan Ibnu ‘Ushfur.
- Mengarang buku-buku nahwu. Yang paling urgen yaitu “Al-Irtisyaf” sebanyak 6 jilid dan ringkasannya sebanyak 2 jilid.
- Sebelumnya ia bermazhab dzahiri, kemudian berpindah ke madzhab Syafi’i.
- Mendeskripsikan perbedaan para ahli nahwu tentang makna shorof, dan ia berkata bahwa hal tersebut merupakan perbedaan yang tiada gunanya. Ia juga mendeskripsikan analisa mereka pada ta’ yang dibaca dhommah, seperti kata: كلمت untuk mutakallim (orang yang berbicara), fathah untuk mukhattab (mitra bicara laki-laki), dan kasrah untuk mukhattabah (mitra bicara perempuan).
- Memberikan komentar terhadap beberapa perbedaan 7 ahli nahwu pada fiil mudhori’ yang dibaca rafa’ dengan berkata : “Perbedaan ini sungguh tidak ada manfaatnya, Karena memang tidak ada penerapan yang muncul darinya”.
- Mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi antara ulama’ Basrah dan Kufah dalam permasalahan apakah fi’il atau masdar yang jadi asal dari isytiqaq.
- Terhadap pendapat Ibnu Ushfur dan muridnya, Ibnu ad-Dho'i yang mengatakan bahwa kata كلّما dalam contoh kalimat: كلما استدعيتك فإن زرتني فعبدي حر dibaca rafa' sebab menjadi mubtada', sedang khobarnya berupa kalimat syarat dan jawabnya. Abu Hayyan menolak pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa kata كلّما harus di baca nashab, seperti kalimat: كلّما أضاء لهم مشوا فيه
- Tidak setuju dengan pendapat Ibnu al-Badisy yang membolehkan menjadikan fi'il sebagai mudzakar. Contoh: الهندان هما يفعلان
- Menolak pendapat Ibnu Malik tentang fi'il madli terkadang menunjukkan waktu yang akan datang, di antaranya yaitu: setelah hamzah taswiyah, setelah adat takhsish, setelah kata كلّما , setelah kata حيث , setelah shilah, dan ketika fi'il madli tersebut menjadi mensifati isim nakiroh.
- Ibnu Malik yang berpendapat bahwa huruf ba' terkadang bisa ditambahkan dengan hal, dengan berdasar pada ucapan salah satu pujangga:
فما رجعت بخائبة ركاب ¤ حكيم بن المسيّب منتهاها
Disangkal oleh Abu Hayyan juga dengan mengeluarkan 2 bait.
- Pendapat Ibnu Malik bahwa dhomir yang kembali pada silah boleh dibuang dengan syarat terdapat huruf yang menyertainya, shilah tersebut diqiyaskan dengan jumlah khobariyah. Seperti pada kalimat: الذى سرت يوم الجمعة . Abu Hayyan berpendapat bahwa mengqiyaskan shilah dengan jumlah khobariyah itu tidak diperkenankan. Hal tersebut diperbolehkan apabila memang terdapat shima' dari orang asli Arab.
- Tidak sepakat dengan pendapat Ibnu Malik yang mengatakan bahwa pada kalimat لم يك huruf nun yang dibuang di baca jazm dikarenakan untuk meringankan. Abu Hayyan berpendapat bahwa pembuangan huruf nun tersebut dikarenakan seringnya penggunaan, dengan alasan bahwa huruf nun itu serupa dengan huruf illat.
- Ia berpendapat bahwa huruf lam pada kalimat ولقد علمتم الذين اعتدوا منكم فى السبت adalah lam ibtida' yang berfungsi sebagai arti taukid (penguatan), dan diperbolehkan sebelumnya terdapat qasam yang dikira-kirakan ataupun tidak ada.
- Ia tidak sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa huruf ما yang nakiroh bisa disifati. Ia sendiri berpendapat bahwa huruf ما tersebut adalah zaidah (tambahan). Seperti dalam kalimat: مررت بما معجب لك
- Terhadap perkataan sebagian orang Arab: ما أنت وزيدا dan كيف أنت وزيدا adalah mengira-ngirakan kata كان yang terbuang. Dengan kata lain yaitu: ما كنت وزيدا dan كيف تكون وزيدا . Al-Farisi dan para ahli nahwu yang lain berpendapat bahwa كان yang dikira-kirakan tersebut adalah taam (sempurna). Adapun Abu Hayyan berpendapat bahwa كان tersebut adalah naqish (yang butuh pada khobar).
- Mayoritas ahli nahwu berpendapat bahwa nashab pada kalimat أنت الرجل أدبا dan أنت زهير شعرا dan kalimat lain yang serupa dengannya adalah hal. Abu Hayyan berpendapat bahwa itu adalah tamyiz.
- Mayoritas ahli nahwu berpendapat bahwa kata نعم pada kalimat نعم هذه أطلاهم adalah untuk menjadikan mudzakar. Sedang Abu Hayyan berpendapat itu berfungsi untuk membenarkan apa yang jatuh setelah نعم dan didahulukan di depan kalimat.

Faidah Penggunaan Alif Dan Lam Dalam Kalimat Bahasa Arab

Faidah Penggunaan Alif Dan Lam Dalam Kalimat Bahasa Arab

Ada suatu kaidah penting dalam ushul tafsir, dimana jika terdapat alif dan lam masuk pada isim jenis (seperti manusia, jin dll) atau masuk pada isim sifat (nama sifat), maka menunjukkan istigroqiyah, yakni menunjukkan makna yang mencakup keseluruhan dari jenis atau sifat yang dimasukinya.
Pada pelajaran mengenai bahasa arab, kita ketahui bahwa isim yang kemasukan alif dan lam adalah isim yang ma’rifat, yakni isim yang tertentu, namun ketika alif dan lam masuk pada isim jenis dan sifat, maka alif dan lam ini berfungsi sebagaimana kaidah di atas. Kaidah ini telah disepakati oleh para ulama bahasa arab dan juga ulama ushul fiqih.
Contohnya sebagaimana dalam surat al-Ahzab ayat 35:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمً
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Pada ayat ini terdapat banyak sekali kata-kata sifat yang kemasukan alif dan lam. Sehingga dari hal ini kita ketahui bahwa, semua sifat yang ada pada ayat di atas menunjukkan semua cakupan sifat dan keseluruhan hal yang terkandung dari sifat, yang akan mengantarkannya kepada ampunan dan pahala yang besar dari Allah ta’ala.
Kita ambil contoh misalnya pada kata الْمُسْلِمِينَ. Kata ini menunjukkan semua orang muslim yang mempunyai makna-makna islam, orang muslim yang mengamalkan semua bagian dan cabang-cabang islam. Sehingga dengan kesempurnaan islamnya, maka semakin sempurnalah konsekuensinya, yakni magfiroh (ampunan) dan pahala yang besar dari Allah ta’ala. Begitu pula, semakin sedikit kesempurnaan islamnya, semakin sedikit pula magfiroh dan pahala yang akan diterimanya.
Sehingga dari hal ini, tidak semua orang muslim akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah ta’ala, akan tetapi hanya orang muslim yang mempunyai keseluruhan makna islamlah yang mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah ta’ala. Dimana besar kecilnya ampunan Allah tergantung kadar keislaman yang dimilikinya.
Demikian juga pada kata الْمُؤْمِنِينَ yang merupakan kata sifat. Ketika masuk pada kata tersebut alif dan lam, maka menunjukkan bahwa, iman yang akan mengantarkan kepada ampunan dan pahala yang besar dari Allah adalah keimanan seseorang yang mencakup keseluruhan iman dan cabang-cabang iman, yakni orang yang ada pada dirinya semua aspek-aspek iman. Sehingga, semakin sedikit aspek iman yang dikerjakannya dan semakin rendah keimanannya, maka sedikit pula ampunan dan pahala yang ia dapatkan. Jika iman hilang, maka hilanglah ampunan dan pahalanya.
Kaidah ini tidak hanya mencakup pada sifat-sifat yang baik namun juga mencakup pada sifat-sifat yang buruk dan sifat-sifat yang dilarang oleh Allah ta’ala. Ketika Allah mengancam seseorang yang melakukan sifat buruk tertentu, maka jika semakin sempurna sifat buruk yang dilakukannya, maka semakin sempurna pula hukuman yang didapatkan, begitu pula semakin berkurang sifat buruk tersebut, semakin berkurang pula hukumannya.
Contoh alif lam yang masuk pada isim jenis adalah apa yang ada pada surat Al-Ma’arij ayat 19-22:
إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا – إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا – وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا – إِلاَّ الْمُصَلِّينَ
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,(21) kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”
Pada ayat ini terdapat isim jenis, yakni pada kata الْإِنْسَانَ, dan terdapat pada kata ini alif dan lam. Berdasarkan kaidah di atas, maka makna kata ini mencakup keseluruhan dari manusia, yang artinya semua manusia itu mempunyai sifat keluh kesah dan kikir, kecuali orang-orang yang telah Allah kecualikan, yakni orang-orang yang sholat.
Begitu pula pada surat al-’Ashr, Allah ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِ – إِنََّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الََّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Kata الْإِنْسَانَ menunjukkan keseluruhan manusia, sehingga arti dari ayat di atas adalah sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali yang telah Allah ta’ala kecualikan pada ayat di atas.
Untuk bisa mengetahui apakah alif lam yang dimaksud adalah alif lam istigroqiyah adalah dengan menambahkan kata كل (kullu) di depan katanya. Jika penambahan kata ini tidak merubah dan merusak arti, maka berarti alif lam tersebut adalah alif lam istigroqiyah.
Selain contoh di atas, contoh yang paling agung di dalam penerapan kaidah ini adalah dalam masalah asma’ul husna, dimana hampir disetiap surat terdapat asma’ul husna.
Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa dia adalah Allah, Al Malik, Al ‘Alim, Al Hakim, Al Aziz, Al Quddusus Salam, Al Hamidum Majid. Dimana pada lafadz Allah terkandung seluruh makna uluhiyah, hanya dialah dzat yang berhak untuk diibadahi. Pada kata tersebut terdapat seluruh sifat yang sempurna, seluruh sifat terpuji, keutamaan, kebaikan dan tidak ada penyekutuan atasnya, baik dari golongan malaikat, jin, manusia atau seluruh makhluk. Bahkan seluruh makhluk menyembah kepada Allah dengan penuh ketundukan terhadap keagungannya.
Begitu pula pada sifat Al malik, yang berarti dzat yg mempunyai semua makna dan unsur kepemilikan dan kekuasaan yg sempurna. Makhluk seluruhnya adalah milik allah.
Al ‘alim menunjukkan dzat yg mengetahui segala sesuatu, ilmunya meliputi yang nampak dan tidak nampak, samar dan jelas dan meliputi segala hal yang diperbuat seluruh makhluknya.
Dan sifat-sifat lainnya dari nama-nama Allah yang husna, yang dari nama ini terkandung kesempurnaan sifat dan keindahan sifat yang dimiliki oleh Allah. Sehingga ketika kita menemukan nama-nama Allah, maka sudah terbesit dalam hati kita bahwa makna dari nama tersebut menunjukkan kesempurnaan dari sifat tersebut.
Apa dasar munculnya kaidah ini?
Kaidah ini merupakan kaidah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabda beliau pada saat tasyahud:
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ . فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمُوهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Semoga perlindungan dan pemeliharaan diberikan kepada kami dan semua hamba Allah yang sholih. (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata) Jika kalian mengucapkan doa ini maka doamu ini akan mencakup seluruh hamba Allah yang sholih yang ada di langit dan di bumi.”
Pada kata الصَّالِحِينَ terdapat alif dan lam yang berarti mencakup seluruh hamba Allah yang sholih yang ada di langit dan di bumi.
Contoh penerapan kaidah ini sangat banyak di dalam al-Qur’an

GELAR ULAMA

GELAR ULAMA

Identitas para ulama dalam pembahasan kitab-kitab salaf sering kali disebutkan dalam bentuk laqob (gelar/julukan). Pemberian laqob tersebut disesuaikan dengan kapasitas, kepedulian dan tingkatan/kedudukan seseorang pada disiplin ilmu tertentu dan laqob tersebut pada akhirnya justru lebih dikenal daripada nama aslinya.
Untuk menelusuri suatu pendapat yang dinisbatkan kepada salah satu ulama dan sekaligus mengklasifiksikannya dalam kategori kuat atau lemah, sudah barang tentu harus mengetahui laqob-laqob tersebut. Selain itu, untuk menghindari kesalah pahaman dituntut pula untuk mengetahui laqob-laqob yang terdapat pada fan-fan lain (selain fiqh). Hal ini dikarenakan masing-masing fan ilmu sering kali menggunakan laqob yang sama namun yang dimaksud berbeda. Seperti gelar “As-Syaikh” menurut istilah fiqh, hadist, mantiq maupun balaghoh mempunyai maksud yang berbeda. Oleh karena itu, berikut ini adalah gelar-gelar (laqob) fuqoha Syafi’iah (ulama bermadzhab Syafi’i).
 
GELAR-GELAR ULAMA FUQOHA SYAFI’IYAH
الامام (dalam fiqh) adalah Imam Al-haromain Abu al-Ma’ali Abd Malik bin Abi Muhammad al-Juwaini (419-478 H). beliau menetap di Makkah dan Madinah selama 4 tahun, oleh karena itu di beri gelar Al-haromain yang berarti imamnya dua tanah haram. Termasuk murid-murid beliau yang masyhur adalah al-Ghozali. Karya-karya beliau antara lain : Al-Irsyad, Al-Waroqot, Nihayatul Mathlab, dan lain-lain.
الإمام
(dalam Ushul Fiqh dan Mantiq) : Fakhruddin Muhammad bin Hasan bin Husain Ar-Rozi (543-606 H). dimakamkan di tanah Haroh. Karya-karya beliau antara lain : Mafaatihul Ghoib (tafsir), Syarah al-Isyarot dan Lubabul Isyarot (Mantiq).
الشيخ
(dalam fan fiqh) : Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Assairozi (393-476 H). Assyairozi merupakan julukan beliau yang dinisbatkan pada daerah Syairoz, sebuah kota besar di tanah Persia. Karya-karya beliau antara lain : Al-Muhaddzab (fiqh), Al-Luma beserta syarahnya (Ushul fiqh) dan lain-lain.
الشيخ
(dalam fan balaghoh) : Abu Bakar Abd Qohir bin Abdurrahman Al-Jurjani. Beliau pencetus dan pencipta ilmu Balaghoh. Wafat pada tahun 471 H.
شيخان
(dalam fan hadist) : Al-Imam Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim Al-Bukhori (194-256 H). dan Al-Imam Al-hafidz Abu Husain bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (174-261 H).
شيخان
(dalam fan fiqh) : An-Nawawi dan Ar-Rofi’i. An-Nawawi dengan nama lengkap Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarof An-Nawawi, lahir di kota Nawa Damaskus Syiria tahun 631 H. dan wafat pada tanggal 24 Rojab 676 H. karya-karya beliau antara lain : Al-Majmu’ syarah Al-Muhaddzab, Ar-Raudoh, Minhajut-Tholibin dan lain-lain. Sedangkan Ar-Rofi’I dengan nama lengkap Abu al-Qosim Abdul Karim bin Muhammad. Ar-Rofi’I merupakan julukan yang dinisbatkan pada sahabat Nabi yang bernama Rofi’ bin Khodij. Beliau wafat tahun 623/624 H. karya-karya belaiu antara lain : Al-Muharror Syarah Al-Wajiz As-Shogir dan Al-Kabir yang diberi judul Fathul Aziz.
الشيوخ
(dalam fan fiqh) : Al-Imam Nawawi, Ar-Rofi’I dan As-Subki. As-Subki dengan nama lengkap Taqiyuddin Abu Husain Ali bin Abdul Kafi bin Tamam (683-755 H). karya-karya beliau mencapai 150 buah kitab termasuk termasuk karyanya adalah Tafsir Al-Quran dan Syarah Al-Minhaj (fiqh).
شيخنا
Ketika diucapkan oleh Al-Mahalli, Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfanya dan Muhammad Al-Khotib As-Syarbini, yang dimaksud adalah Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshori (841-925/826-926 H). karya-karya beliau diantarnya : Syarah Ar-Raoudl (fiqh), Lubbul Ushul beserta Syarahnya (Ushul fiqh) dan lain-lain.
Catatan :
Menurut Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqof dalam kitab Fawaid al-Makiyah, jika Al-Mahalli mengucapkan kata “Syaikhuna” (Syaikhul islam Zakaria Al-Anshori), hal ini akan memberikan pengertian bahwa Al-Mahalli adalah muridnya Zakaria Al-Anshori, padahal yang dimaksud bukanlah demikian. Justru Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshori itu muridnya Al-Mahalli. Dengan demikian kata “Syaikhuna” hanya sekedar istilah untuk Zakaria Al-Anshori yang diberi gelar Syaikhul Islam.
الشيخ
Jika istilah tersebut diucapkan oleh Imam Muhammad Ar-Romli yang dimaksud adlah Zakaria Al-Ansori. Imam Romli mempunyai nama lengkap Syamsudin Muhammad bin Ahmad Ar-Romli (919-1004 H). beliau terkenal dengan julukan Syafi’I Shogir karena sangat jenius dalam bidang fiqh, ternasuk karya-karya beliau : Nihayatul Muhtaj, Ghoyatul Bayan (syarha Nadzom Az-Zubad) dan lain-lain.
شيخي
Jika istila tersebut diucapkan oleh Al-Khotib As-Syarbini, maka yang dimaksud adalah Syihabudin Ahmad bin Hamzah Ar-Romli (Ar-Romli Kabir ayahanda dari Muhammad Ar-Romli Shogir).
القاضى
(dalam fan fiqh), bila disebutkan dalam kitab Mutaakhirin, maka yang dimaksud adalah Husain bin Muhammad bin ahmad Al-Marwazi (wafat 462 H). beliau termasuk ashabul Wujuh. Ketika disebut dalam kitab-kitab Mutaqoddimin, maka yang dimaksud adalah Al-Qodli Abu Hamid Al-Marwarudzi, pengarang syarah Mukhtasor Al-Muzani.
القاضى
(dalam fan ushul fiqh) : Abu Bakar Muhammad bin Thoyib bin Muhammad bin Ja’far Al-Baqilani (wafat 403 H). beliau banyak menelurkan karya-karya menentang kaum Rafidloh dan Mu’tazilah.
القاضى
(dalam fan tafsir) : adalah Nashirudin Abdulloh bin Umar Al-Baidlowi (wafat tahun 691 H). karya-karya beliau : At-Thowali (Ushuludin), Minhajul Wushul (Ushul fiqh) dan Mukhtasor Al-Kassyaf.
القاضى
Ketika disebut dalam kitab-kitab hadist maka yang dimaksud adalah Al-Qodli ‘Iyad bin Musa ‘Iyad.
قاضيان
Yang dimaksud adalah Imam Ar-Ruyani dan Al-Mawardi. Ar-Ruyani dengan nama lengkap Fakhrul Islam Abul Mahasin Abdul wahid bin ismail Ar-Ruyani. Lahir bulan Dzul Hijjah tahun 415 H dan wafat pada 11Muharom tahun 502 H. karya-karya beliau : Al-bahr syarah Al-Mukhtasor dan lain-lain.
الشارح/الشارح المحقق
(dalam fan fiqh) : Imam Jalaluddin Al-Mahalli (791-864). Banyak sekali karyanya baik dalam fiqh, ushul fiqh, tafsir, antara lain : Syarah Al-Minhaj (fan fiqh), Syarah Jam’ul Jawami’, Syarah Al-Waroqot (ushul fiqh) dan juz pertama dari tafsir jalalain. Istilah tersebut karyanya berlaku sebagaimana diatas, selama kitab yang disebutkan tidak mempunyai istilah sendiri, jika mempunyai istilah sendiri seperti kitab syarah Al-Irsyad, maka yang dimaksud dengan istilah As-Syaarih adalah Imam Al-Jurjani (822-889 H). adapaun kata Syaarih (tanpa Alif lam) yang dimaksud adalah salah satu dari ulama yang mensyarahi sebuah kitab.
الشراح
(dalam fan fiqh) : adalah para ulama yang mensyarahi (mengomentari) kitab Minhajut-Tholibin karya An-Nawawi.
الشراح
(dalam fan nahwu) : adalah para ulama yang mensyarahi kitab alfiah ibnu Malik.
القفال
Adalah Imam Qoffal As-Shoghir dengan nama lengkap Abu Bakar Abdillah bin Ahmad bin Abdillah Al-Marwazi (327-417 H). beliau diberi julukan Qoffal yang berarti tukang kunci karena semasa mudanya bekerja sebagai ahli kunci.
Catatan :
Jika yang dikehendaki bukan Qoffal As-Shoghir maka ditulis dengan Qoffal Al-Kabir, adalah Abu Bakar Al-Qoffal atau As-Syasi. Adapun nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ismail Al-Kabir (291-365 H). imam Qoffal As-Syasi bukanlah yang dikehendaki dengan kata “As-Syasi” ketika dimutlakkan, karena bila dimutlakkan yang dimaksud “As-Syasi” adalah : Fakhrul Islam Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Husen As-Syasi (429-505 H). pengarang kitab As-Syafi syarah Mukhtasor Muzani.
ابن حجر
(dalam fan fiqh) : adalah Ibnu Hajar Al-Haitami (909-973 H). nama lengkapnya adalah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Hajar Al-Haitami. Al-Haitami merupakan julukan yang dinisbatkan pada sebuah desa di Mesir. Termasuk karya beliau yang terkenal adalah : Al-Imdad, Fathul Jawad (syarah Al-Irsyad) dan Tuhfatul Muhtaj syarah Al-Minhaj. Jika yang dikehendaki Ibnu Hajar Al-Asqolani maka dalam kitab fiqh penulisannya diucapkan Ibnu Hajar Al-Hafidz atau Al-Hafidz Ibnu Hajar.
ابن حجر
(dalam fan hadist) : adalah Ibnu Hajar Al-Asqolani. Nama lengkapnya adalah Syaikhul Islam Ahmad bin Ali bin Ahmad Al-Asqolani. Beliau wafat pada tanggal 18 Dzul Hijjah 852 H. banyak sekali karya beliau terutama yang berhubungan dengan ilmu hadist seperti kitab Fathul Bari syarah Bukhori.
السبكي
Adalah Taqiyyuddin As-Subki (683-756 H), ayah dari Imam Tajuddin As-Subki.
السبكي التاج
Yang dimaksud adalah Tajuddin as-Subki putra imam Taqiyyudin As-Subki. Nama lengkapnya adalah Tajuddin As-Subki bin Nashor Abdul Wahab bin Ali As-Subki. As-subki merupakan julukan yang dinisbatkan pada sebuah desa di Mesir. Karya beliau antara lain : Jam’ul Jawami’, Man’ul Ma’ani. Beliau meninggal hari selasa tanggal 7 Dzul Hijjah 771 H karena wabah Thoun dalam usia 44 tahun.
حجة الاسلام
Yang dimaksud adalah Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Atthusi Al-Ghozali (450-505 H).
سلطان العلماء
Yang dimaksud adalah Izzudin Abdul Aziz bin Abdis Salam bin Abi al-Qosim As-Salami ad-Damasqy (577-660 H).
شارح التنبيه
Yang dimaksud adalah Abu Al-Fadlol Ahmad bin Musa bin Yunus Al-Mushi Al-Irbili.
الشيخ
Ketika disebut oleh pengarang kitab Kifatu Al-Akhyar yang dimaksud adalah Qodli Abu Syuja’ Syihabudin Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Asfihani (328-488 H).
الفقيه
Yang dimaksud adalah Najmuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Rif’ah Al-Anshori Al-Mishri (645-710 H).
افتى به الوالد
Ketika diungkapkan oleh Ar-Romli maka yang dimaksud adalah orang tuanya yaitu Syihabudin Ahmad bin Hamzah Al-Anshori.

METODE MUTHOLA'AH

METODE MUTHOLA'AH SYEKH ALWI BIN AHMAD AS-SEGAF 

Syekh Alwi bin Ahmad As-Segaf termasuk Ulama Alawiyyin keturunan Hadlromaut yang paling sukses di perantauan. Murid terkasih “Syeikh Zaini Dahlan” ini, di Makkah menjadi guru dari para “Saadaat” (sayid-sayid). Sehingga beliau mendapat gelar “Syaikh As-Saadaat” (gurunya para sayid di Makkah). Ketika Al-Kurdi melahirkan karyanya yang berjudul “Al-Fawaid Al-Madaniah”, As-Segaf tidak mau kalah, ia juga melahirkan karya serupa dengan judul “Al-Fawaid Al-Makiyah”. Di dalam kitabnya ini, As-Segaf menulis tentang langkah-langkah cerdas “muthola’ah” seperti yang di praktekkan sendiri dan disarankan kepada murid-muridnya. As-Segaf mengatakan : “jika metode ini dipakai dengan benar, telaten dan penuh ketekunan, saya yakin sekali dalam jangka waktu satu tahun atau paling lama dua tahun anda akan mengalami peningkatan daya pemahaman luar biasa”.
Metode muthola’ah Alwi As-Segaf tersebut adalah sebagai berikut :
1.Terjemahkan dengan benar apa yang anda baca dengan melihat kosa kata yang ada, selain itu juga harus memperhatikan susunan kalimahnya (tarkib).
2.Definisikan (tashowur) istilah-istilah yang tercantum disitu dengan mencari batasan-batasannya, misalnya di Fathul Qorib ada ibarat :
ولا يجوز فى غير ضرورة لرجل او امرأة استعمال شيء من اوانى الذهب والفضة
coba tangkaplah pengertian dari lafadz ولا يجوز yang dimaksud disini apakah haram atau makruh dan coba tangkap pengertian ضرورة kondisi bagaimana yang diktegorikan dlorurot ?
3.Kemudian pahamilah ibarat tersebut dengan pemahaman terbalik (mafhum mukholafah) missal ibarat diatas dikatakan “Fi ghoiri dlorurotin” dengan demikian kalau dalam kondisi dlorurot berarti boleh. Disitu juga dikatakan “Min awani al-dzahab wal fiddoti” berarti selain bejana diperbolehkan, begitu juga bejana yang terbuat dari bahan selain emas dan perak.
4.Bantahlah “materi keterangan” yang sedang and abaca kemudian perkuatlah dengan “argument-argumen” yang melemahkan. Kemudian perkuatlah “titik-titik kelemahan tersebut” dengan “argument-argumen” yang memperkuat, begitu seterusnya.
5.Aktualisasikan dengan kondisi disekitar anda. Misalnya anda membahas pembagian air. Coba hubungkan dengan hukumnya air aqua, air ledeng hasil penyulingan, air kelapa misalnya tergolong yang mana ? anda membahas tentang jarak yang memperbolehkan qoshor sholat disana dijelaskan dalam jarak 16 farsakh. Coba anda aktualkan dengan ukuran kilo meter misalnya.

TOKOH-TOKOH ULAMA’ BASRAH

TOKOH-TOKOH ULAMA’ BASRAH
1. Abdullah bin Abu Ishak
Ia belajar al-Qur’an dari Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim dan belajar nahwu dari Maimun al-Aqran. Dikatakan bahwa ia belajar nahwu dari Yahya bin Ya’mur. Hatim meriwayatkan dari Dawud bin Zibriqah dari Qatadah bin Da’amah ad-Daus, ia berkata:”Orang pertama yang menyusun nahwu setelah Abul Aswad adalah Yahya bin Ya’mur, dan belajar darinya Abdullah bin Abu Ishak.
2. Sibawaih
Adalah Sibawaehi (Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar [148-180 H./765-795 M.]) pengarang al-Kitâb yang terkenal itu. Julukannya adalah: “Abu Bisyr” tapi orang banyak mengenalnya: “Sibawaehi”. Dalam bahasa Persia, kata Sibawaehi artinya: harum buah apel.Imam pakar Ilmu Nahwu ini dilahirkan di suatu komunitas besar di kota Baidha’, salah satu kota di propinsi Istikhar, Persia (Iran sekarang).
Dalam umur yang relatif dini, Sibawaehi kecil bersama keluarganya hijrah ke kota Bashrah meninggalkan tanah kelahirannya, Baidha’. Dunia metropolitan Bashrah yang menjadi basis keilmuan Islam saat itu merupakan saksi awal keilmuan Sibawaehi dibangun dan ditata. Di situlah tempat ia menuntut ilmu bersama para ulama-ulama terkemuka di zamanya hingga ajal menjemput di usia yang belum terlalu tua, tahun 180 H. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di kota Ahwaz, Iran.
Hingar-bingar keilmuan Bashrah membuat Sibawaehi kecil kerasan alias beta, dengan tekun ia belajar Hadits dalam halaqah Syeikh Himad ibn Salamah ibn Dinar, salah seorang Muhadist termashur saat itu. Dalam kegigihan itu, Sibawaehi mendapati lahn (kesalahan-ungkap) pada pembelajaran Syeikh ketika membacakan beberapa hadist Nabi. Ia kecewa dengan sang guru. Dirinya bertekat tidak mengulangi kesalahan tersebut (lahn) sebagaimana telah dialami Syeikh Himad. Di sinilah awal Sibawaehi tergiur belajar bahasa Arab agar terhindar dari lahn yang mengjengkelkan itu.
Karya Sibawaih adalah Kitab Sibawaih, tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Dalam menyusun kitab ini, Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki Khalil. Sibawaih meriwayatkan dalam kitabnya tentang para ahli nahwu, meskipun tidak jelas apakah dia bertemu mereka atau belajar dari mereka secara lisan, mereka itu adalah Abu Umar bin Ula, Abdullah bin Abi Ishak, Al-Ru’as dan para ahli Kuffah.
Tambahan
Ada dua sumber yang dipakai Sibawaih sebagai argumentasi dalam menguatkan pendapatnya mengenai sebuah persoalan tatabahasa, yaitu puisi Arab dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam kitabnya, Sibawaih menggunakan kurang lebih seribu lima ratus bait puisi. Banyak dari puisi-puisi tersebut tidak disebutkan sumbernya, entah karena penciptanya sudah meninggal atau memang tidak diketahui. Karena takut salah, kadang-kadang Sibawaih mencantumkan dua bahkan lebih sumber untuk satu puisi. Puisi-puisi itu ada yang dinyatakan bersumber dari gurunya atau dari pendengarannya sendiri. Syaikh Muhammad ath-Thanthawy menyatakan adanya tiga puluh satu puisi tanpa sumber yang jelas, sedangkan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Baghdady menyebut angka lima puluh. Berikut ini kami sampaikan pendapat beberapa ulama terkait puisi-puisi tanpa sumber ini.
1. ‘Uqaibah bin Hubairah al-Asady
مُعَـاوِىَ إِنَّـنَا بَشَـرٌ فَأَسْـجِحْ فَلَسْـنَا بِالْجِـبَالِ وَلاَ الْحَـدِيْـدَ ا
Sibawaih menyatakan bahwa kata الحديدا itu mansub karena ma‘thuf kepada kata الجبال . Kata الجبالitu sendiri mansub, sedangkan ba’ adalah zaidah. ‘Uqaibah menyatakan bahwa Qutaibah menyalahkan pendapat Sibawaih di atas dan kata الحديدا harus dibaca majrur sebagaimana umumnya qasidah puisi Arab. Al-Mubarrad juga mengikuti pendapat Qutaibah ini.
2. Nahsyal bin Hurry
لِيُـبْكَ يَـزِيْدٌ ضَـارِعٌ لِخُصُـوْمَـةٍ وَمُخْتَـبِطٌ مِمَّـا تُطِـيْحُ الطَـوَائِـحُ
Sibawaih menyatakan bahwa kata ضـارع marfu‘ karena merupakan naibul fa‘il yang sudah diketahui dari kata ليـبك . Nahsyal menyampaikan pendapat al-Ushmu‘i yang menyangkal pendapat ini, karena tidak ada na’ibul fa‘il dari fi‘l mahzhuf. Kata يـزيد harus tetap mansub, sedangkan kata ضـارع adalah fa‘il.
3. Al-Akhthal
كُرُّوْا إِلَى حَرَّتَيْكُمْ تَعْمُرُوْنَهَا كَمَا تَكِرُّ إِلَى أَوْ طَانِهَا الْبَقَرُ
Sibawaih menggunakan bentuk di atas untuk orang kedua ketika dia menggunakan bentuk حَرَّتـَيْكُـمْ تَعْـمُرُوْ نَهُـمَا . Al-Akhtal menyampaikan kritik Syaikh Muhammad ath-Thanthawy mengenai bait syair di atas. Bentuk di atas seharusnya digunakan untuk orang ketiga, bukan untuk orang kedua. Bagi ath-Thantawy, Sibawaih seharusnya menggunakan bentuk حَرَّتـَيْهِـمْ يَعْـمُرُوْ نَهُـمَا
Dalam menyusun kitabnya, Sibawaih telah menyusun materi-materi tatabahasa Arab dengan sistematis. Dari satu bagian ke bagian lain terdapat jalinan yang padu sehingga memudahkan para pembaca. Dalam akhir bagian selalu ada epilog yang menyambungkan dengan bagian sesudahnya. Tidak ada pemisahan pembahasan dalam setiap bagian. Pembahasan dalam kitab Sibawaih berdasar pada contoh-contoh asli bahasa Arab agar dapat langsung menentukan antara bentuk kalimat yang benar dan yang salah. Kitab itu sendiri terdiri atas 820 bab. Penyusunan bab-bab itu berbeda dengan umumnya penulis dalam beberapa hal, yaitu:
1. Urutan yang dipakai bukan pembahasan mengenai marfu‘at, kemudian manshubat, dan seterusnya, tetapi pembahasan dimulai dengan pembahasan fa‘il yang bersambung dengan pembahasan maf ‘ul, atau pembahasan mubtada’ yang disambung dengan pembahasan mengenai khabar.
2. Mendahulukan pembahasan yang seharusnya di akhir dan mengakhirkan pembahasan yang seharusnya di awal, misalnya mendahulukan pembahasan musnad ilaih dan baru disambung dengan pembahasan musnad.
3. Membahas dari masalah yang umum ke yang khusus, misalnya membahas tasghir secara umum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai berbagai macam bentuk tasghir.
4. Beberapa pembahasan dilakukan sampai selesai, misalnya pembahasan mengenai fa‘il dimulai dengan fa’il tanpa maf‘ul, fa‘il dengan satu maf‘ul, dan diakhiri fa‘il dengan dua maf’ul. Pada masa sekarang, pembahasan ini biasanya diletakkan pada pembahasan mengenai fi‘l muta‘adi dan lazim.
5. Kadang-kadang suatu pembahasan berada dalam satu bab, sedangkan pembahasan yang lain berada pada bab yang lain agar mendapatkan kecocokan.
6. Karena belum ada istilah-istilah baku untuk tatabahasa Arab, Sibawaih masih menggunakan kata-kata yang panjang untuk membuat judul suatu bab, misalnya untuk inna wa akhwatuha dia menggunakan kata-kata ‘bab mengenai lima partikel yang berfungsi seperti fi‘l terkait dengan kata-kata sesudahnya’.
Kitab Sibawaih banyak mendapat pujian karena kelengkapannya. Di Basrah, kitab ini adalah kitab pokok ilmu tatabahasa Arab. Akan tetapi, banyak juga orang yang tidak percaya bahwa kitab ini adalah karya Sibawaih sendiri. Mereka mengira Sibawaih mengerjakan kitab ini bersama-sama orang lain. Kitab Sibawaih telah mengalami enam kali cetak. Cetakan pertama di Paris pada tahun 1881, disambung dengan cetakan kedua di Calcutta tahun 1887, cetakan ketiga di Jerman tahun 1895, cetakan keempat di Kairo tahun 1898, cetakan kelima di Baghdad, dan cetakan keenam di Kairo tahun 1966.
3. Al-Akhfasy al-Awsath
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Sa‘id bin Mas‘adah, hamba Bani Mujasyi‘ bin Darim bin Malik bin Hanzhalah bin Zaid Manah bin Tamim. Al-Akhfasy adalah sebutan karena matanya kecil dan penglihatannya lemah. Abu al-Hasan Sa‘id bin Mas‘adah dikenal sebagai “al-Akhfasy al-Shaghir” sedangkan ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman dikenal sebagai “al-Akhfasy al-Kabir”. Al-Akhfasy dilahirkan di Balkh, sedangkan riwayat yang lain mengatakan di Khawarizm. Dia datang ke Basrah untuk menuntut ilmu kepada Sibawaih. Al-Akhfasy dikenal sebagai pengikut Mu‘tazilah, walaupun ada yang mengatakan bahwa dia pengikut Qadariyyah-Murji’ah aliran Abu Syimr. Al-Akhfasy adalah teman dekat Sibawaih ketika dia terusir dari Baghdad karena kalah berdebat dengan al-Kisa’iy. Al-Akhfasy adalah sumber utama konsep tatabahasa Arab yang disusun Sibawaih karena tidak ada satu konsep pun dari tatabahasa Sibawaih yang tidak dibaca al-Akhfasy. Al-Kisa’iy sendiri secara rahasia meminta al-Akhfasy untuk membacakan kitab Sibawaih dan memberikan hadiah lima puluh dinar.
Sebenarnya, al-Akhfasy adalah penggagas utama mazhab Kufah. Al-Kisa’iy secara khusus menempatkan al-Akhfasy di sampingnya dengan segala kemuliaan. Al-Akhfasy sendiri adalah guru putra-putra al-Kisa’iy. Banyaknya kemuliaan yang diterima al-Akhfasy di Baghdad mengakibatkan lunturnya semangat Basrah dan mendekatkan dia ke mazhab Kufah. Al-Akhfasy mulai membantah pendapat gurunya, Sibawaih serta al-Khalil, dan membantu para ulama aliran Kufah dalam menyusun mazhab mereka. Al-Akhfasy menunjukkan kepada para ulama Kufah beberapa pendapat berbeda mengenai tatabahasa yang kemudian mereka ikuti. Beberapa pendapat yang diikuti di antaranya:
1. Min jarr za’idah dalam kalimat aktif, misalnya
لَـقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَـأِ الْمُرْسَلِيْـنَ (الأنعام )
2. Pemberlakuan ketentuan inna ketika ditambah ma, misalnya إِنَّمَـا زَيْـدًا قَائِمٌ .
3. Penggunaan tanwin pada kata ثَالِثٌ dan nashb pada kata ثَلاَثَةً dalam frase ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ
4. Penggunaan lam al-ibtida’iyyah pada ni‘ma dan bi’sa, misalnya إِنَّ مُحَمَدًا لَنِعْمَ الرَّجُلِ
5. Marfu‘ pada zharf yang muqaddam, misalnya أَمَامُـكَ زَيْـدٌ .
Al-Akhfasy dikenal sangat cerdas. Para ulama mengakuinya karena banyak sekali kitab yang dia susun, yaitu al-Awsath, al-Maqayis, al-Isytiqaq, al-Masa’il, Waqf at-Tamam, al-Ashwat, Tafsir Ma‘ani al-Qur’anil-Karim, al-Arba‘ah, al-‘Arudh, al-Qawafi, Ma‘anisy-Syi‘r, al-Muluk, dan al-Ghanam: Alwanuha wa ‘Ilajuha. Ada beberapa pendapat mengenai tahun wafatnya al-Akhfasy, yaitu tahun 211 H, 215 H, 221 H, dan 225 H.
4. Al-Mubarrad
Dia bernama Abu al-‘Abbas Muhammad bin Yazid bin ‘Abdul-Akbar bin ‘Umair bin Hasan bin Salim bin Sa‘d bin ‘Abdullah bin Yazid bin Malik bin al-Charits bin ‘Amir bin ‘Abdullah bin Bilal bin ‘Auf bin Aslam bin Achjan bin Ka‘b bin al-Charits bin Ka‘b bin ‘Abdullah bin Malik bin Nashr bin al-Azd bin al-Ghauts. Nama al-Mubarrad diberikan oleh al-Maziny kepada Muhammad bin Mazid dia menyusun kitab “al-Alif wal-Lam”. Dia berguru pada al-Jurmy, al-Maziny, dan as-Sijistany. Al-Mubarrad terkenal kikir karena menganggap bahwa kaya itu disebabkan oleh banyak menyimpan sedangkan miskin itu oleh banyak memberi.
Sebagaimana al-Maziny, al-Mubarrad memprioritaskan perumusan kaidah dengan teknik mendengar langsung (sima‘). Hal ini berbeda dengan Sibawaih. Misalnya dalam hal taskin pada fi‘l mudhari‘ pada puisi:
فَالْيَـوْمَ أَشْرَبْ غَيْـرَ مُسْتَـحْقِب إِثْـمًا مِـنَ اللهِ وِلاَ وَاغِـلِ
Sibawaih memperbolehkan taskin pada kata أَشْرَبْ, sedangkan menurut al-Mubarrad, bacaan yang benar adalah فَالْيَـوْمَ اشْرَبْ. Demikian juga dengan dhamir jarr sebagai ganti dari dhamir raf‘ dalam kata لَـوْلاَكَ seperti dalam puisi:
أَوْمَـتْ بِكَـفَّيْـهَا مِنَ الْهَـوْدَجِ لَـوْلاَكَ هَـذا الْعَـامُ لَمْ أَحْجُـجْ
Menurut al-Mubarrad, bacaan seperti ini salah karena dhamir raf‘ di atas tidak bisa diganti, misalnya dalam ayat: لَوْلاَ أَنْـتُمْ لَكُنَّـا مُـؤْمِنِـيْنَ (سبأ : 31) . Kata di atas seharusnya dibaca لَـوْلاَ أنْتَ bukannya لَـوْلاَكَ . Pendapat yang lain adalah tasghir dari kata إِبْرَاهِيْـم dan إِسْمَاعِيْـل . Menurut Sibawaih, kedua kata di atas menjadi بُرَيْـهِيْـم dan سُمَيْعِيْـل . Adapun menurut al-Mubarrad, kedua kata itu menjadi أُبَيْـرِيْـه dan أُسَيْـمِيْـع karena alif pada kedua kata di atas adalah asli.
Pada masa khalifah al-Mutawakkil, al-Mubarrad pernah dimintai fatwa terkait dengan kata انـها pada ayat
وَمَـا يُشْعِرُكًمْ اَنَّـهَا إِذَا جِـا ءَتْ (الأنعام : 109)
apakah dibaca اَنَّـهَا atau إِنَّـهَا . Permintaan ini terkait dengan perbedaan pendapat antara khalifah dengan al-Fath bin Khaqan. Khalifah dan umumnya ulama membaca dengan اَنَّـهَا. Al-Mubarrad menganggap bacaan itu salah dan menyatakan yang benar adalah إِنَّـهَا. Akan tetapi, al-Mubarrad tidak berani menyatakan hal ini di depan khalifah dan hanya menyembunyikan pendapatnya.
Al-Mubarrad banyak menyusun kitab yang penting, di antaranya: Nasab ‘Adnan wa Qachthan, I‘rabul-Qur‘an, al-Ittifaq wal-Ikhtilaf minal-Qur‘anil-Majid, al-Fadhil, al-Kamil, al-Muqtadhab, al-Isytiqaq, at-Tashrif, al-Madkhal li-Sibawaih, Syarch Syawahidul-Kitab, Ma‘na Kitab lil-Akhfasy, ar-Radd ‘ala Sibawaih, Dharuratusy-Syi‘r, Generasi Nuchatil-Bashriyyin, al-Maqshur wal-Mamdud, dan al-Qawafy. Dia meninggal pada hari Senin tanggal 28 Dzulhijjah 286 H dan dimakamkan di sebuah rumah depan pintu masuk kota yang dibelinya. Al-Mubarrad adalah satu-satunya ulama peride kedelapan dan periode ini memiki kelebihan dibandingkan periode sebelumnya, di antaranya:
a. Menyusun sebuah kitab berdasarkan pendapat sendiri.
b. Menggunakan pendapat ulama terdahulu dalam beberapa pembahasan.
c. Pembahasan dalam bermacam-macam bidang ilmu.
d. Penggunaan metode-metode baru dalam tatabahasa, seperti qiyas, sima‘, ta‘lil, ‘awamil, dan ma‘lumat.
e. Banyaknya diskusi.
TOKOH-TOKOH ALIRAN KUFAH
1. Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah, berkebangsaan Persia. Sedangkan “al-Kisa’i” merupakan julukan yang diberikan kepadanya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa julukan tersebut diperoleh karena beliau menghadiri sebuah majlis Hamzah ibn Habib az-Ziyat dengan memakai baju (كساء) hitam yang mahal. Ketika absent, sang guru pun menyakan ketidakhadirannya kepada hadirin : apa yang telah dilakukan oleh si pemakai baju bagus?. Sejak saat itu, beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Kisa’i. Dia lahir di Kufah, pada tahun 119 H dan wafat pada 189 H dalam perjalanannya menuju Tus (sebuah wilayah di Persia).
Al-Kisa’i giat mengikuti beragam majlis qira’ah dengan guru-guru yang beraneka pula. Salah satunya, pembacaan syair yang dipimpin oleh Khalil ibn Ahmad. Hingga akhirnya Al-Kisa’i paham bahwa syair-syair tersebut bersumber dari masyarakat Badui yang bermukim di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Untuk memuaskan rasa keingintahuannya, beliau mendatangi masyarakat tersebut dengan menuliskan setiap apa yang didengarnya sehingga menghabiskan 15 botol tinta.
Peran al-Kisa’i dalam Mendirikan Madrasah Kufah
Keseriusannya dalam mempelajari nahwu dan kemudian menuliskannya. Ketika bermukim di Baghad, Al-Kisa’i konsen terhadap perkataan bangsa Arab kota yang bukan tidak mungkin mengandung kesalahan dalam pelafalan yang didengarnya. Al-Kisa’i tidak puas, dari sinilah berawal lahirnya dua madzhab; antara Kufah dan Bashrah, perdebatan antara Sibawaih dan Al-Kisa’i yang terkenal dengan a-Mas’alah az-Zanburiyah. Perdebatan ini dimenangkan oleh Al-Kisa’i dan moment ini menjadi tonggak stabilitas madzhab Kufah. Namun demikian, setelah kematian Sibawaih, Al-Kisa’i pun membaca “Kitab Sibawaih” (satu-satunya buku yang ditulis Sibahwaih), meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Karakterisitik generasi kedua:
a. pembahasan yang mendalam
b. menggunakan siasat untuk meraih pengetahuan; membaca “Kitab Sibawaih” secara sembunyi-sembunyi
c. berdiskusi dengan para tokoh aliran Basrah
d. penulisan dan pembukuan, seperti buku yang ditulisnya: Ma’anil Qur’an, Mukhtashirun fi an-Nahwi, al-Hudud an-Nahwiyah, dan lainnya.
2. Al-Fara’
Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan ad-Dailumiy. Lahir di Kufah pada tahun 144 H, berkebangsaan Persia dan meninggal pada tahun 207 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menghabiskan hidupnya dengan mempelajari qira’ah, tafsir, syair dari Abu Bakar ibn ‘Ayyas dan Sufyan ibn ‘Iyyinah. Sedangkan guru bahasa dan nahwunya adalah Abi Ja’far ar-Ru’asiy dan al-Kisa’i Beliau juga seorang murid Al-Kisa’i yang banyak mendapat pengetahuan riwayat mengenai bangsa Arab dari Gurunya
Selanjutnya, beliau juga meneruskan studinya ke Bashrah setelah kematian Khalil ibn Ahmad, yang kemudian posisinya digantikan oleh Yunus ibn Habib. Hingga akhirnya, dia belajar kepada Yunus mengenai nahwu dan bahasa. Adapun karya-karyanya cukup banyak, yang di antaranya adalah: Lughatu al-Qur’an, an-Nawadir, al-Kitaab al-Kabiir fi an-Nahwi, dan lainnya.
3.Tsa’lab
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Yahya ibn Yazid, tetapi terkenal dengan Tsa’lab. Beliau berkebangsaan Persia, namun lahir dan tumbuh di Baghdad. Tahun kelahirannya pada 200 H. Sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu; membaca, menulis, menghapal al-Qur’an dan sya’ir Arab. Karyanya:
a. Majaalis Tsa’lab; di dalamnya merangkum berbagai pemikirannya tentang nahwu, bahasa, makna al-Qur’an dan syair-syair asing
b. Al-Fashih
c. Qawaaidu asy-Syi’ri
Adapun karyanya yang membahas tentang nahwu adalah:
a. Ikhtilafu an-Nahwiyiin
b. Ma Yansharifu wa ma laa yansharif
c. Haddu an-Nahwi
Karakteristiknya:
a. Pengetahuan yang beraneka ragam; nahwu, bahasa, balaghah dan lainnya
b. Banyaknya penulisan dari berbagai ilmu pengetahuan

STUDI NAHWU MAZHAB BAGHDAD

STUDI NAHWU MAZHAB BAGHDAD

1. TOKOH-TOKOH KUFAH LEBIH DULU MASUK KE BAGHDAD
Para ahli nahwu dan ahli bahasa Kuffah telah datang terlebih dahulu ke Baghdad bila dibandingkan para ahli dari Bashrah. Hal ini dapat dilihat melalui kedatangan Al-Kasai ke Baghdad dengan membawa ilmu nahwu Kuffah serta pendapat-pendapat para ahli tentang ilmu tersebut. Lebih dari itu, pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Kasai bahkan dipercaya oleh khalifah untuk menjadi guru bagi kedua putranya yang bernama Amin dan Makmun. Dan ketika kesehatannya mulai menurun, dia menunjuk temannya yang bernama Ali bin Malik Al-Ahmar untuk menggantikannya menjadi guru bagi kedua putra khalifah. Demikianlah, al-Kisa’i telah mampu menempatkan aliran nahwu Kuffah di Baghdad, dan memasukkannya ke dalam pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid. Tokoh lain yang datang ke Baghdad setelah Al-Kasai dan Al-Ahmar adalah Yahya bin Ziad Al-Fara’, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Makmun, untuk menjadi guru bagi kedua putra khalifah.
Kedatangan para ilmuwan Kuffah ke Baghdad senantiasa mendapat sambutan baik dari pemerintah, bahkan mereka diberi kedudukan yang terhormat, misalnya saja sebagai guru bagi putra kaisar maupun sebagai penasehat khalifah, karena mereka dianggap telah berjasa memperkenalkan sebuah ilmu baru pada Baghdad. Penyebab dari hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Thoyyib Al-Lughawy adalah, bahwa pada masa tersebut, Baghdad hanya dikenal sebagai kota kerajaan dan bukan kota ilmu pengetahuan, sehingga mereka senantiasa memberikan tempat istimewa pada orang-oranga yang mereka anggap memiliki ilmu pengetahuan dan memperkenalkannya pada mereka.

2. BASHRAH DAN KUFAH BERTEMU DI BAGHDAD
Ketika berita tentang kemuliaan yang didapatkan oleh para pakar nahwu Kuffah dalam pemerintahan khalifah Bani Abbas di negeri Baghdad tersebar, maka hal ini memicu hasrat dari sebagian pakar nahwu Bashrah untuk mengadu nasib ke Bagdad, dengan harapan mereka dapat ikut merasakan apa yang telah diperoleh para ilmuwan Kuffah. Meskipun kedatangan mereka banyak ditentang oleh tokoh-tokoh Bani Abbas, namun pada akhirnya mereka berhasil mendapatkan posisi di Baghdad karena mereka memiliki perangai yang baik.
Dengan kedatangan para pakar Bashrah ini, maka dapat diketahui bahwa ada dua macam aliran nahwu yang masuk ke Baghdad, yaitu aliran Kuffah dan aliran Bashrah. Kedua aliran ini tumbuh di Baghdad dengan karakteristik masing-masing, sehingga pendukung keduanyapun juga terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda. Dengan adanya berbagai perbedaan yang ada dalam kedua aliran ini, maka yang muncul ke permukaan pada tahap selanjutnya adalah adanya persaingan sengit antara keduanya dan tidak pernah mencapai titik temu. Perbedaan dan perselisihan dua aliran tersebut selanjutnya melahirkan sebuah aliran baru yang diberi nama aliran Baghdad, yaitu aliran yang memadukan aliran Kuffah dan aliran Bashrah kemudian disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang telah ada.

3. PAKAR NAHWU YANG TERKENAL DI BAGHDAD
1. Abu Musa Al-Khamidh
Nama lengkapnya adalah Abu Musa Sulaiman bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Dia belajar ilmu nahwu dari Abu Abbas, pada saat dia berusia sekitar 40 tahun. Meskipun demikian, dia juga belajar nahwu dari para pakar nahwu Bashrah. Abu Musa wafat pada malam Kamis tanggal 7 Dzul Hijjah tahun 305 H, dan dimakamkan di Baghdad. Karya-karya peninggalan Abu Musa antara lain yaitu : kitab Khalqu’l-Insan, kitab A’s-Sabaq wa An-Nidhal, kitab An-Nabat, kitab Al-wuhusy dan kitab Mukhtashar fi An-Nahwi.

2. Ibnu Kisan
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Kisan. Dia belajar ilmu nahwu dari para pakar nahwu Kuffah dan Bashrah, oleh karena itu dia hafal dan faham dengan baik teori-teori serta madzhab-madzhab yang ada dalam kedua aliran ini. Pada masa itu, Ibnu Kisan terkenal sebagai seorang tokoh yang agamis dan pecinta ilmu. Dia wafat pada hari Jum’at tanggal 8 Dzul Qa’dah tahun 299 H. Karya-karya peninggalan Ibnu Kisan terdiri dari berbagai tulisan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab. Misalnya saja karya di bidang ilmu nahwu seperti Mukhtashar fi An-Nahwi, Mudzakkar wa Muannats, Al-Fa’il wa Al-Maf’ul, dsb. Selain itu, ada pula tulisannya di bidang ilmu sharf, seperti Kitab At-Tashrif.

3. Ibnu Syaqir
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad bin Al-Hasan bin Al-‘Abbas bin Al-Faraj bin Syaqir. Seperti halnya Ibnu Kisan, Ibnu Syaqir juga belajar ilmu nahwu dari para pakar nahwu Kuffah dan Bashrah. Sehingga dia memadukan dua aliran yang berbeda ini. Dia wafat pada bulan Shafar tahun 317 H. Karya peninggalannya antara lain yaitu kitab Mukhtashar fi An-nahwi, kitab Al-Maqshur wa Al-Mamdud, dan juga kitab Al-Mudzakkar wa al-Muannats.

4. Ibnu Al-Khayyath
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Manshur bin Al Khayyath. Dia memadukan aliran nahwu Kuffah dengan aliran nahwu Bashrah sebagaimana Ibnu Kisan dan Ibnu Syaqir. Ibnu Al-Khayyath wafat pada tahun 320 H di Bashrah. Karya-karya peninggalannnya di bidang ilmu nahwu antara lain yaitu kitab An-Nahwu Al-Kabir, kitab Al-Mujaz, dsb.

5. Nuftuwaih
Nama lengkapnya yaitu Abu ‘Abdullah Ibrahim bin Muhammad bin ‘Arafah bin Sulaiman bin Al-Mughirah bin Habib bin Al-Muhallab bin Abi Shafrah Al-‘Itky Al-Azda Al-Wustho. Lahir sekitar pertengahan tahun 240 H, dan bertempat tinggal di Baghdad. Dia bersaudara dengan Khalid bin ‘Abdullah Al-Muzany. Dia juga termasuk salah satu tokoh yang memadukan aliran Kuffah dan Bashrah, namun dia menolak pendapat yang mengatakan adanya proses etimologi dalam kalam Arab. Nuftuwaih wafat pada hari Rabu tanggal 12 Shafar tahun 323 H di Baghdad, dan dimakamkan pada hari Kamis. Karya-karya peninggalan Nuftuwaih antara lain yaitu kitab At-Tarikh, kitab Al-Iqtisharat, Kitab Gharib Al-Qur’an, kitab Al-Itstitsna’, dsb.


6. Ibnu Al-Anbary
Nama lengkapnya yaitu Abu Bakar Muhammad bin Abi Muhammad Al-Qasim bin Basyar bin Al-Hasan bin Bayan Ibnu Sama’ah Ibnu Farwah bin Quthn bin Da’amah Al-Anbary. Lahir pada hari Ahad tanggal 11 Rajab tahun 271 H dan wafat sebelum berusia 50 tahun, yaitu sekitar tahun 328 H di Baghdad, dan dimakamkan di dekat makan ayahnya. Ibnu Al-Anbary adalah seorang ilmuwan yang berbudi pekerti luhur dan sekaligus memiliki hafalan yang kuat. Di bidang ilmu nahwu, dia banyak belajar dari para pakar nahwu Kuffah. Karya-karya peninggalannya sangat banyak baik di bidang ilmu nahwu, kebahasaan, sastra maupun di bidang ilmu hadits. Misalnya saja di bidang ilmu nahwu dia menulis kitab Al-Maqshur wa Al-Mamdud, di bidang kebahasaan dia menulis kitab Al-Alqab, di bidang sastra dia menulis kitab (meski belum selesai)dan kitab Gharib Al-Hadits (juga belum selesai) di bidang ilmu hadits.

7. Al-Akhfasy Al-Ashghar
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Sulaiman bin Al-Fadhl. Dia termasuk salah seorang pakar nahwu yang terkenal yang mempelajari ilmu nahwu dari berbagai pakar nahwu sebelumnya. Dan untuk itu dia banyak melakukan perjalanan meninggalkan Baghdad. Setelah dia kembali ke Bahgdad, dia mulai jatuh dalam kemiskinan hingga pada akhirnya wafat secara mendadak pada tanggal 7 bulan Dzul Qa’dah tahun 315 H dan dimakamkan di pemakaman Qantharah Baradan. Karya peninggalannya yang terkenal antara lain yaitu Sarh kitab Sibawaih, Tafsir Risalah kitab Sibawaih, kitab At-Tatsniyah wa Al-Jam’u, kitab Al-Madzhab fi An-Nahwi, kitab Al-Jarrad dan kitab Al-Anwa’.

Kelompok Kedua
Yang dimaksud kelompok kedua di sini adalah salah satu kelompok yang membesarkan aliran Baghdad. Mereka adalah para pakar nahwu yang mempelajari ilmu nahwu dengan cara berguru pada pakar nahwu Bashrah dan kemudian mempelajari ilmu nahwu aliran Kuffah. Setelah mempelajari secara mendalam dan membandingkan keduanya, kelompok ini selanjutnya juga memadukan aliran Kuffah dan aliran Bashrah menjadi sebuah aliran, yaitu aliran Baghdad. Para pakar yang masuk dalam kelompok kedua ini antara lain yaitu :

1. Az-Zujaj
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin As’Sury bin Sahl Az’Zujaj. Dia mendapat julukan Az-Zujaj karena bekerja sebagai pemotong kaca. Mula-mula dia mempelajari ilmu nahwu dari Kuffah dan kemudian memadukannya dengan ilmu nahwu dari Bashrah. Az-Zujaj wafat pada hari Jum’at tanggal 11 Jumadal Akhir tahun 310 H. Karya-karya peninggalannya antara lain yaitu kitab Ma’ani Al-Qur’an, kitab Al-Isytiqaq, kitab Al-Qawafy, kitab Al-‘Arudh, kitab Khalq Al-Insan, ktan Mukhtashar fi An-Nahwi, kitab Syarh Abyat Sibawaih, dsb.

2. Ibnu As-Siraj
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin As-Sury bin Sahl As-Siraj. Mendapat julukan As-Siraj karena dia mempunyai keahlian membuat pelana kuda. Dia termasuk salah seorang pakar nahwu dan sastra. Untuk ilmu nahwu, mula-mula dia belajar dari pakar nahwu Bashrah seperti Sibawaih. Ibnu As-Siraj wafat pada hari Ahad tanggal 3 Dzul Hijjah tahun 316 H. Karya-karya peninggalannya terdiri dari buku-buku bahasa, nahwu dan juga sharf, antara lain yaitu kitab Jumal Al-Ushul, kitab Al-Mujaz fi An-Nahwi, kitab Al-Isytiqaq, kitab Syarh Sibawaih, kitab Asy-Syi’r wa Asy-Syu’ra’, kitab Al-Muwashalat fi Al-Akhbar wa Al-Mudzkkarat, dsb.

3. Az-Zujajy
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Qasim ‘Abdu’r-Rahman bin Ishaq Az-Zujajy. Dia bukan penduduk asli Baghdad. Dia tiba di Baghdad pada saat masih kecil. Ilmu nahwi yang dikuasainya dia pelajari dari Muhammad bin Al-‘Abbas Al-Yazidy, Abu Bakar bin Darid, Abu Bakar bin Al-Anbary, juga dari pakar yang lain termasuk Az-Zujaj. Selanjutnya dia tinggal di Damaskus. Dan pada bulan Rajab tahun 307 H, dia wafat pada saat dalam perjalanan meninggalkan Damaskus bersama Ibnu Al-Haris. Karya-karya peninggalannya berupa buku-buku bahasa ,nahwu, ‘Arudh dan sastra. Diantara buku-buku tersebut yaitu kitab Al-Jumal, Al-Kafy, Syarh Kitab Al-Alif wa Al-Lam Li’l-Mazany, Syarh khutbah Adab Al-Katib, dsb.

4. Mubraman
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin ‘Ali bin Ismail Al-‘Askary. Dia belajar ilmu nahwu dari pakar nahwu Bashrah dan Az-Zujaj. Mubraman wafat pada tahun 345 H. Karya-karya peninggalannya yang terkenal di bidang nahwu dan bahasa antara lain yaitu Syah kitab Sibawaih (belum selesai), Syarh Syawahid Sibawaih, An-Nahwu Al-Majmu’ ‘ala Al-‘Ilal, dsb.

5. Ibnu Durustuyah
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ja’far bin Durustuyah bin Al-Marzuban. Dia dilahirkan di Persia pada tahun 258 H dan kemudian menetap di Baghdad. Ilmu nahwu dia pelajari dari Bahsrah dan Kuffah sedangkan ilmu sastra dia pelajari dari Ibnu Qutaybah. Ibnu Durustuyah wafat pada hari Senin tanggal 9 Safar tahun 347 H. Karya-karya peninggalannya di bidang bahasa, nahwu dan sastra antra lain yaitu kitab Al-Mutammim, kitab Al-Irsyad fi An-Nahwi, kitab Al-Hidayah Syarh Kitab Al-Jurumy, kitab Gharib Al-Hadits, kitab Tafsir Asy-Syai’, dan masih banyak lagi yang lainnya.



4. PENGARUH MADZHAB BAGHDAD TERHADAP KONFLIK POLITIK
1. Penopang Madzhab Baghdad
Pada masa-masa awal munculnya aliran Baghdad, yaitu sekitar abad ke-3 H, perkembangan ilmu nahwu di Baghdad lebih didominasi oleh pengaruh dari Kuffah dari pada pengaruh dari Bashrah.. Hal ini tidak lepas dari campur tangan kekuasaan khalifah-khalifah Bani Abbas. Dominasi pengaruh madzhab Kuffah ini masih terus terasa, dan baru dapat berkurang setelah tokoh-tokohnya meninggal dunia.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar nahwu Baghdad berupaya memadukan madzhab Kuffah dan Bashrah, kemudian mereka formulasikan ke dalam sebuah aliran baru yang disebut sebagai aliran Baghdad, di mana kaidah-kaidah yang mereka gunakan sebagian diambil dari kaidah-kaidah nahwu Kuffah, sebagian dari kaidah-kaidah nahwu Bashrah dan sebagian lagi adalah kaidah-kaidah nahwu baru hasil ijtihad ataupun istimbat mereka.

2. Popularitas Madzhab Baghdad di Lingkungan Kerajaan dan di Daerah
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perkembangan ilmu pengetahuan agak terhambat karena adanya campur tangan dari pemerintah, yang lebih memihak pada madzhab Kuffah. Sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan pemerintah tersebut, membuat para ilmuwan berniat meninggalkan negeri Baghdad, yang mereka anggap tidak memberikan kedamaian. Kondisi Baghdad yang demikian masih terus berlangsung sampai datangnya Abu Al-Husain Ahmad bin Abu Syuja’ Bawaih pada tahun 334 H ke negeri tersebut dan mendirikan kekhalifahan Persi di Baghdad. Dan dalam perkembangannya, wilayah pemerintahan Bani Abbas kemudian terpecah menjadi beberapa bagian.
Seiring dengan terpecahnya kerajaan Abbasiyah, maka para pecah pula ikatan madzhab Baghdad, karena para pakar nahwu yang bermadzhab Baghdad tersebut, terpisah oleh wilayah-wilayah yang berbeda. Karena wilayah mereka telah terpisah. Oleh kaerena itu, selanjutnya para pakar nahwu tersebut menjalani kehidupan yang baru di wilayah mereka masing-masing. Hal ini berarti bahwa, para pakar tersebut mempunyai kebebasan untuk mengembangkan madzhab nahwu mereka, bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, termasuk pengaruh dan tekanan dari pemerintahan Bani Abbas, sehingga mereka bebas berijtihad tanpa terpengaruh oleh pakar-pakar di wilayah lain kecuali untuk kepentingan perkembangan bahasa Arab.

3. Misi Baru Madzhab Baghdad
Berbeda dengan pemerintahan Bani Abbas, maka pemerintahan baru yang ada di Baghdad lebih memberi perlindungan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan menghormati para ilmuwan pada masing-masing bidangnya. Mereka diberi kesempatan untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa Arab, bahkan lebih dari itu, mereka dianggap sebagai bagian dari kerajaan meskipun mereka berasal dari wilayah lain. Pada masa pemerintahan As-Saljuqiyah, didirikanlah madrasah yang pertama dalam sejarah. Dikatakan pertama karena pada masa sebelumnya, proses pendidikan hanya berlangsung di masjid-masjid saja. Perhatian lebih dari pemerintah terhadap ilmu pengetahuan dan ilmuwan ini, selanjutnya memacu semangat para ilmuwan untuk lebih produktif. Sehingga pada masa tersebut, banyak bermunculanlah pengarang-pengarang besar nahwu, lebih dari apa telah ada sebelumnya, karena pada umumnya, mereka tidak cukup puas hanya menggunakan kaidah-kaidah dari pendahulu mereka saja, akan tetapi mereka mengembangkannya dengan ijtihad mereka sendiri. Dengan adanya perbedaan lingkungan dan juga perbedaan nuansa politik yang ada, selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap para ilmuwan. Ilmuwan yang ada pada masa pemerintahan saat ini (setelah pemerintahan Bani Abbas) disebut para ilmuwan (pakar) kontemporer, sedangkan ilmuwan yang ada pada masa sebelumnya (pada masa pemerintahan Bani Abbas) disebut sebagai ilmuwan (pakar) konvensional (tradisional).

5. PAKAR NAHWU KONTEMPORER MADZHAB BAGHDAD
1. As-Sirafi
Nama lengkapnya Abu Sa’id al-Hasan bin Abdullah bin Marzaban. Dia dilahirkan di Siraf (sebuah nama kota di pelabuhan di tepi laut Arab negrei Parsi yang kemudian namanya diambil dari nama kota tersebut) pada tahun 290 H. Bapaknya seorang Majusi bernama Bahzaz kemudian masuk Islam dan diberi nama Abu Said (Abdullah). Dia belajar Al Qur'an dan Qiraat dari Ibnu Mujahid, belajar ilmu linguistik dari Ibnu Duraid, ilmu nahwu dari Ibnu Siraj dan Abu Bakar Mumbraman. Dalam fiqh, beliau bermazhab Hanafi, sebagaima yang diriwayatkan oleh Abu Hayyan at-Tauhidi bahwa beliau berfatwa dalam urusan fiqh bermadzhab Hanafi selama 50 tahun. Karya-karyanya adalah syarh kitab Sibawaih, kitab Alfat al wasl dan al qit, kitab Akhbar nahwiyin bashoriyyin, kitab waqof dan ibtida', kitab sin'atu siir dan balaghah, kitab maqsurah Ibnu Duraid, kitab iqna' dalam ilmu nahwu (tidak sampai selesai) kemudian diselesaikan oleh anaknya Yusuf, kitab syarh syawahid kitab Sibawaih, kitab pengantar kitab Sibawaih dan kitab Jaziratul ‘Arab.
Abu Sa’id pernah berkata:”Saya datang dalam suatu majlis Abu Bakar bin Duraid. Saya sebelumnya pernah melihatnya. Saya duduk di bagian belakang majlis. Salah satu undangan menyenandungkan dua bait puisi memuji Nabi Adam As, sampai pada kisah tatkala Qabil membunuh saudaranya Habil, yaitu :
تغيّرت البلاد ومن عليها فوجه الأرض مغبّر قبيح
تعيّر كسلّ ذى حسن وطيب وقلّ بشاشهة الوجه المليح
Saya mengatakan:”di-nasab-kan kata (بشاشه), dan dibuang tanwin-nya karena bertemunya dua sukun bukan karena di-idhafah-kan, maka menjadi ism nakirah yang di-nasab-kan atas tamyiz kemudian di-rafa'-kan kata (لوجه) dan sifatnya di-isnad-kan oleh kata (قل) maka lafalnya menjadi :الوجهِ المليح وقلَّ بشاشة, sebagaimana Nasr bin 'Asim dan Abu Amr bin 'Ala membaca firman Allah:
(قل هو الله أحدُ الله الصمد), dengan membuang tanwin pada kata ( احد ), karena bertemunya dua sukun. Pendapat ini dikuatkan oleh Al Fara’ dari madzhab Kufah.

Puisinya
اسكن إلى سكن تسّر به ذهب الزمان وانت منفرد
Tinggallah kamu ke tempat yang menyenangkanmu, waktu telah berlalu dan kamu dalam kenestapaan
ترجوغدا وغد كحاملة فى الحيّ لايدرون ماتد
Kamu mengharapkan hari esok dan hari esok, seperti perempuan hamil yang terdapat di kalangan penduduk suatu kawasan, mereka tidak tahu apa yang dia lahirkan.

Wafatnya
Beliau meninggal di pertengahan waktu shalat dhuhur dan ashar pada hari Senin minggu kedua bulan Rajab tahun 368 h, dimakamkan di Khazran setelah shalat asyar pada hari itu juga, umurnya 84 tahun.

2. Ibnu Khalawaih
Nama lengkapnya Abu Abdullah al-Husain ibn Khawaliah. Dia dilahirkan di Hamdan, kemudian pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (314 H). Dia belajar Al Qur'an dari Ibnu Mujahid, nahwu dan sastra dari Ibnu Duraid, Nafthawaih, Abu Bakar ibn Anbari, dan Abi Amar az-Zahid; belajar hadits dari Muhammad ibn Mukhalid al-Attar. beliau bermadzhab Syafii. Karyanya Kitab Al-jamal (nahwu), Istiqaq, Itraghnu fil-Lughoh, al-Qira’at, I'rab 30 surat Al Qur'an, al-Maqsur wal-Mamdud, al-Faat, Mudzakkar wa mu’anats, Syarh Maqsurah Ibnu Duraid, Kitab Laisa, al-Badi' fil-Qira’at Sab'i, Kitab Asad, Kitab Mubtada, dan Kitab Tadzkirah.

Puisinya
إذا لم يكن صدر المجالس سيّد فلا خير فيمن صدّرفسه المجالس
Apabila tidak ada di sebuah majlis sosok seorang ulama, maka tidak ada kbaikan bagi orang yang datang ke majlis tersebut.
وكم قاتل: مالى رأيتك راجلا فقلت له: من أجل أنّك فارس
Berapa banyak orang berkata: Saya tidak melihatmu berjalan kaki, maka aku katakan padanya: itu karena kau menunggang kuda.
Beliau wafat di kota Halab pada tahun 370 H.

3. Abu Ali al-Farisy
Nama lengkapnya Abu Ali al-Hasan bin Abdul Ghafar bin Muhammad bin Sulaiman bin Abaan. Dia dilahirkan di Fasa (sebuah kota di negeri Parsi dekat dengan ibukota Siraz) pada tahun 288 H. Dia pergi ke Baghdad pada tahun 307 H, belajar nahwu dan Zujaj, Mubraman, Akhfas, dan Nafthawaih; belajar linguistik dari Ibnu Duraid, belajar qiroat dari Bakr Ibnu Mujahid. Dia merupakan pengikut Mu'tazilah dan ada juga yang mengatakan dia merupakan pengikut Syiah. Karyanya Kitab Tafsir tentang (يا آيها الّذين امنوا إذا قمتم إلى الصلاة), Kitab Hujjah fil-Qira’at (kitab ini berisi tentang hujjah beliau bahwa setiap qiroah didukung oleh linguistik dan puisi), Kitab at-Tatabbu' li Kalam Abi Ali al-Jabai (ilmu kalam), Kitab al-Idhoh, Kitab Takmilah, Kitab Tadzkiroh, Kitab Maqshur, Kitab Mamdud, Kitab al-Ighfal (yang dilupakan az-Zujaji dalam ma'aniihi), Kitab Awanil Miyah, Kitab Naqdul-Nadhur, Syarh Abyat ‘an I'rab (idhoh siir), Mukhtashar ‘Awamil i‘rab, Tarjamah, dan Abyat Ma'ani.

Puisinya
خضبت الشيب لمّا كان عببا وخضب الشيب أولى أن يعاب
Aku mengecat ubanku karena terasa ada aibnya, karena mengecat uban lebih baik dari pada mendatangkan aib.
ولم أخضب مخافة هجر خلّ ولاعببا خشيت ولاعتابا
Dan aku belum mengecat kekhawatiran yang terdapat dalam sifat keburukan yang melebih sifat yang lain, tidak aib dan celaan yang aku khawatirkan.
ولكنّ المشيب بدا نميما فصيّرت الخضاب له عقاب
Akan tetapi tumbuhnya uban menjqadi tercela, maka dengan mewarnai (uban) dianggap sebagai hukuman
Abu Ali al-Farisi meniggal di Baghdad pada hari tanggal 17 Rabiul Awal tahun 377 H, umurnya 92 tahun. Dimakamkan di Sunaiza.

4. Ar-Rumani
Nama lengkapnya Abu Hasan Ali bin Isa bin Ali bin Abdullah. Dia dijuluki ar-Ruman berasal dari kata (من سرّمن راى). Dia dilahirkan di Baghdad tahun 396 H. Dia belajar dari Ibnu Duraid dan Ibnu Siraj. Muridnya diantaranya adalah Abu al-Qasim at-Tanukhi, Abu Muhammad al-Jauhari. Beliau bermadzhab Bashri dalam pandangan nahwu dan bermadzhab Mu'tazilah dalam aliran pemikiran karena dia lebih filofis, sehingga dia kadang mengkombinasikan nahwu dengan filsafat dan mantik (logika). Karyanya tentang pembahasan Al Qur'an: kitab I'jazul Qur'an dan Kitab al-Faat fil-Qura’nil-Karim, tentang nahwu: Kitab Syarh Sibawaih, Kitab Nakt Sibawaih, Kitab Aghrad Sibawaih, Kitab Masa’il Mufrad fi Kitab Sibawaih, kitab Syarh al-Madkhal ila Sibawaih lil-Mubrad, Syarh Mukhtashar al-Jurmi, Syarh al-Masa’il lil-Akhfasy, Kitab Syarh Alif wal-Lam lil Mazni, Syarh al-Mujiz li-bn Siraj, Kitab I'jaz (nahwu), Kitab Mubtada’, Kitab Syarhul-Ushul li-bn Siraj, Kitab Kabir. Beliau meninggal pada malam Ahad tanggal 11 Jumadil awal tahun 384 H.

5. Ibnu Jinni
Nama lengkapnya Abu al-Fath Utsman bin Jinni, dilahirkan di Mosul sebelum tahun 330 H (ada yang mengatakan dia dilahirkan pada 320 H). Beliau berguru kepada Ibnu Muqsam, Abu al-Faraj al-Asfihani, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad dikenal dengan Imam Akhfas dan Abu Sahl al-Qattam. Dalam syarah kitab Al Mutanabbi dia berkata:"Ada seseorang yang bertanya kepada Abu Thayyib al-Mutanabbi tentang bait puisi: باد هواك صبرت أم لم تصبرا . Bagaimana huruf alif masih tetap pada kata تصبرا padahal ada لم jazm, mestinya diucapkan dengan لم تصبر? Mutanabbi menjawab: seandainya ada Abu al-Fatah disini, pasti beliau menjawab: alif pada تصبرا merupakan badal dari nun taukid khafifah. Asalnya: لم تصبرن , nun taukid khafifah disini jika waqf diganti dengan alif. Karyanya dalam ilmu nahwu: Kitab Ta'aqub fil-‘Arabiyah, Kitab Mu‘rab, Kitab Talqin, Kitab Lam, Kitab Alfadz min Mahmuz, Kitab Mudzakar wa mu’anats, Kitab Khasha’is, Kitab Sirr Sina‘atul I'rab, Kitab Syarh Maqsur wal-Mamdud, kitab Idzal-Qadd (kumpulan kuliah Abu Ali al-Farisi) Kitab Mahasinil-‘Arabiyah, Kitab Khatiriyat, Kitab Tadzkirah al-Ashibaniyah, Kitab Tanbih, Kitab Muhadzab, Kitab Tabshirah. Dalam ilmu sharf : Kitab Jumal Ushulut-Tasrif, Kitab Mushannif (Syarh Tasriful-Mazni), Kitab Tasriful-Muluki. Dalam ilmu 'arudh: Kitab ‘Arudh wal-Qawafi, Kitab Kaafi (Syarh Kitab Qawafi lil-Akhfasy). Dalam ilmu sastra dan puisi: Kitab Syi‘ir (Syarh Diwan al-Mutanabbi), Kitab al- Farq baina Kalam Khas wal-‘Am, Kitab Miratsi at-Tsalatsah dan Qasidah ar-Ruiyah li-Syarif ar-Ridho, Kitab Ma'ani Abyat Mutanabbi.

Puisinya
Beliau mempunyai teman tetapi temannya menceritakan aibnya, kemudian beliau membalasnya dengan melantunkan puisi :
صدودك عنىّ ولاذنب لى يدلّ على نيّة فاسدة
Penentanganmu kepadaku menujukkan niat yang merusak tidak ada dosa bagiku
وقد وحياتك ممّا بكيت خشيت على عينى الواحدة
Kehidupanmu yang aku tangisi, sungguh mengkhawatirkanku karena mataku hanya Satu
ولولامخافة الاّراك لما كان فى تركها فائدة
Seandainya tidak ada kekhawatiran untuk tidak melihatmu, maka lebih bermanfaat jika dibiarkan saja.
Wafatnya
Beliau meninggal di Baghdad pada hari Jum'at bulan Shofar tahun 392 H, dimakamkan di Suniza disamping makam gurunya Abu Ali al-Farisi, disitu juga menjadi makamnya Syaih Junaid seorang tokoh tasawuf.

6. Ar-Rab'i
Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Isa bin al-Faraj bin Sholih ar-Rab'i, dilahirkan di Siraj tahun 328 H, pergi ke Baghdad dan berguru kepada Sirofi kemudian kembali lagi ke Siraj dan belajar kepada Abi Ali al-Farisi 20 tahun kemudian kembali lagi ke Baghdad. Karyanya Syarh al-Idhoh li Abi Ali al-Farisi, Syarh Mukhtashar al-Jurmi. Beliau meninggal di Bagdad pada malam Sabtu tanggal 10 Muharram tahun 420 H.

7. Ibnu Burhan
Nama lengkapnya Abu al-Qasyim Abdul Wahid bin Ali bin Umar bin Ishak bin Ibrahim bin Burhan al-Asadi al-Akbari. Dia dilahirkan di Akbara (sebuah negeri yang terletak 20 farsakh dari Baghdad). Beliau belajar hadits dari Ibnu Bittah (Abu Abdullah Ubaidillah bin Muhammad al-Akbari terkenal dengan julukan Ibnu Bittah), belajar ilmu kalam dari madzhab Hasan Basri, dan belajar madzhab Hanafi dari Abi al-Husaini al-Qaduri (nama lengkapnya Abu al-Husain Ahmad bin Ja'far bin Hamdan, seorang pemimpin madzhab Hanafi di Baghdad), belajar ilmu nahwu kepada Ali ad-Daqiqi (Abu al-Qasim Ali bin Ubaidillah Muhammad bin Harun an-Nazali), Ibnu Asras (Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Asras), belajar bahasa kepada Abi Mansur ar-Razi dan as-Sansi, dan belajar sastra dari Abu Salam al-Basri. Dalam pandangan fiqhnya beliau bermadzhab Hanbali.

8. At-Tabrizy
Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Muhammad bin Musa bin Bustham as-Saibani, dilahirkan di Tabriz (salah satu kota di Azarbaizan) tahun 421 H. Beliau belajar ilmu hadits di kota suwar dari Daqih Abi al-Fath Salim bin Ayub ar-Razi, Abi al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad ad-Dilal as-Sayari, dan Ghadhi Abu Thayyib at-Thobari. Beliau pergi ke Mesir belajar bahasa dari Syeikh Abu al-Hasan Thahir bin Babisad di Mesir, kemudian kembali lagi ke Baghdad dan mengajar sastra di madrasah Nidzamiyah kemudian menjabat sebagai kepala perpustakaan disana. Karyanya di bidang ilmu nahwu : Azizah al-Wujud (Syarh Kitab Asrar ash-Shin’ah) dan Syarh al-Lam‘ karya Ibnu Jinni, bidang ilmu linguistik : Tahdzib Islah al-Manthiq karya Ibnu Sikit, bidang ilmu sastra : Syarah Qasha’id al-Asr, Syarh al-Hamasah, Syarh Diwan Mutanabbi, Syarh Diwan Abi Tamam, Syarah ‘an Mufdholiyat, Syarh Maqsurah Ibnu Duraid, bidang ilmu ‘arudh : Kitab al-Kafi fil-‘Arudh wal-Qawafi,
bidang al-Qur’an dan hadits: Kitab I’rabul al-Qur’an dinamakan dengan Al-Mukhlis dan Tahdzib Gharib al-Hadits. Beliau wafat di Bangdad pada hari Selasa Jumadil Akhir 502 H, dimakamkan di pemakaman Bab Abraz.

9. Malik an-Nuhat
Nama lengkapnya Abu Nazar al-Hasan bin Shofi bin Abdullah bin Nazar bin Abi al-Hasan dijuluki dengan Malik an-Nuhat (raja nahwu), dilahirkan di jalan Daar ar-Raqiq di pinggiran barat kota Baghdad tahun 489 H. Beliau belajar hadits dari Sharf Abi Thalib az-Zini, belajar fiqh Syafi’i dari Ahmad al-Usnuhi (sebuah kampung di negeri Azarbaijan), belajar ushul fiqh dari Abi al-Fath bin Burhan, belajar ilmu khilaf (bagian dari ilmu mantiq) dari As’ad al-Mihani, belajar nahwu dari Abi al-Hasan Ali bin Abi Zaid al-Fasihi al-Istirabadhi yang juga belajar nahwu dari Abdul Qahir al-Jarhani. Karyanya dalam ilmu nahwu : Kitab al-Hawi, Kitab al-Umdah, Kitab al-Muntakhab, Kitab at-Tadzkirah Syi‘riyah, dalam ilmu sharf : al-Muqtasid, dalam ilmu ‘arud : Kitab Arud, dalam ilmu qira’at : Uslub al-Haq fi Ta’lil al-Qira’ati al-‘Ahsri wa syai’un min as-syawadz, tentang ushuluddin : Mukhtasar fi Ushuluddin, bidang ilmu ushul fiqih : Mukhtasar fi-Ushul Fiqih dan al-Hakim, dalam ilmu sastra : Kitab al-Maqamat.

Puisinya
Puisi yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad saw.
جنانيك إن جاءتك يوما خصانصى وهلك أصناف الكلام المسخر
Jika datang rasa kerinduan untukmu dalam lubuk hatiku disuatu hari, dan mencemaskanmu beberapa kata-kata olok-olok
فسل منضفا عن قالتى غير جائر بحبّك إنّ الفضل للمتأخّر
Maka tanyakanlah, setengah dari ucapanku tidaklah bertindak tidak adil untuk mencintaimu, sesungguhnya kemuliaan bagi nabi akhir zaman.
Beliau meninggal hari Selasa tanggal 8 Syawal 568 H di Damaskus, dimakamkan di pemakaman al-Bab as-Sahir.

10. Az-Zamakhsyari
Nama lengkapnya Jadullah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad. Dia dilahirkan di Zamakhsyar (sebuah kampung kecil di kawasan Khawarizm) hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H. Sejak kecil telah diajak ayahnya ke Khawarizm (sebuah daerah yang terletak di selatan sungai Jihan, timur laut daerah Khurasan, ditaklukkan oleh Qutaibah bin Muslim tahun 86 H). Khawarizm terbentuk dari dua kata yaitu (Khawar) mempunyai arti matahari, yang ditanam, yang dimakan, dan Zem yang mempunyai arti tanah. Dengan demikian bermakna : tanah matahari, tanah pertanian dan tanah kesuburan. Beliau banyak belajar kepada para ulama di antaranya Mahmud bin Jarir adh-Dhabbi al-Asfihani (Abu Madhor), Abu Ali ad-Darir, Abu Sa’ad al-Baihaqi, dan lain-lainnya. Beliau pernah menikah tetapi bercerai tanpa mempunyai anak dan diungkapkan dalam puisinya :
تصقحت أبناء الرجال فلم أكد أصادف من لا يفضج الأمّ والأبا
Aku menyalami anak-anak orang lain, maka aku belum pasti berjumpa dengan orang yang tidak mencela ibu bapak.
رأيت أبا يشقى لتربية ابنه ويسعى لكى يدعى مكبّا ومنجبا
Aku melihat seorang bapak kesulitan mendidik anaknya dan berusaha supaya dipanggil memandang ke tanah dan beranak pandai.
أرادبه النشء الأعزّ فمادرى أيوليه جحرا أم يعليه منكبا
Dia menginginkan keturunan yang mulia, maka apa yang dia ketahui masuk ke sarang binatang atau bahu.
أخو شقوة ماز ال مركب طفله فأصبح ذاك الطفل للناس مركبا
Saudara selagi menjadi kenderaan anaknya, maka anak itu hanya menjadi kenderaan orang lain.
لذاك تركت النسل واخترت سيرة مسيحية، أحسنً بذلك مذهبا
Oleh karena itu aku meninggalkan keturunan dan memilih cara Al Masih, saya rasa ini adalah jalanku yang terbaik.
Pendapatnya tentang pernikahan diungkapkan dalam puisinya
تزوجت لم أعلم وأخطأت لم أصب فياليتنى قدمتّ قبل التزوج
Aku telah menikah, saya tidak tahu, aku telah berbuat salah aku tidak pernah berbuat kebenaran, maka seandainya aku mati sebelum menikah.
فو الله ماأبكى على ساكنى الثرى ولكننى أبكى على المتزوج
Maka demi Allah tidaklah aku menangis karena kekayaan akan tetapi aku menangis karena telah menikah.
Beliau merupakan pengarang tafsir al-Kassaf. Dalam setiap khutbahnya, dia membuka dengan kalimat الحمد الله الذى خلق القران karena beliau merupakan seorang Mu’tazilah dan kalau lainnya membuka dengan kalimat
الحمد الله الذى انزل القران.
Karyanya: Tafsir al-Kassaf, Kitab al-Faiq fi Gharibil-Hadits, Kitab Ru’usul-Masa’il fil-Fiqh, al-Minhaj fil-Ushul, kitab Dhalatun-Nasid fi ‘ilmil-Faraidh, Risalah fi-Kalimatisy-Syahadah, Safil al-‘A fi li-Syarhi Kalam al-Imam al-Syafi‘i, dalam ilmu nahwu: Kitab al-Mufsil fin-Nahwi, Ammudhuz, Syarh ba’dhi Muksilat, Syarh Abyat Kitab Sibawaih, dan Shamim ‘Arabiyah, dalam ilmu arudh : Kitab al-Qisthas fil-‘Arudh, dalam ilmu sastra : Muqaddimah Adab, A’jabal-‘Ajab fi Syarhi lamiyah al-‘Arab, Rabi‘ul-Abrar, al-Waqud Dahab, Nawabighul-Kalim. Tafsir al-Kassaf merupakan karya monumentalnya, sehingga beliau memuji dalam puisi:
إنّ التفاسير فى الدنيا بلا عدد وليس منها لعمرى مثل كشّافى
Sesungguhnya kitab tafsir di dunia sangat banyak jumlahnya, seumur hidupku tidak ada yang sepadan dan tafsir al kassaf adalah obatnya.
Beliau meninggal di Jarjaniyah (terletak di pinggir sungai Jihan, ibukotanya Khawarizm) di malam hari Arofah (9 Dzulhijjah) 538 H, setelah kembli dari Mekkah. Zamakhsyari mewasiatkan untuk menuliskan dalam nisan kuburnya dua buah bait puisi berikut ini :
إلهى قد أصبحت ضيفك فى الثرى وللضيف حقّ عند كلّ كريم
Ya Tuhanku, aku telah menjadi tamumu dalam kekayaan, setiap tamu mempunyai hak mendapatkan kemuliaan
فهب لى ذنوبى فى قراى فإنّها عظيم ولايقرى بغير عظيم
Maka hilangkanlah dosa-dosaku dalam setiap bacaanku, maka bacaan puisi ini merupakan sesuatu yang agung, tidak dibaca tanpa adanya keagunganmu.

11. Ibnu as-Sajari
Nama lengkapnya adalah asy-Syarif Dhiya’udin Abu as-Sa’adat Hibatullah bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdullah Abi al-Hasan bin Abdullah al-Amin bin Abdullah bin al-Hasan bin Ja’far bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib karromallhu wajhahu. Dikenal Ibnu Sajari, banyak perdebatan mengenai penamaannya. Yakut al-Kamwi mengatakan:”Nasab kata Sajari dari pihak ibunya”. Ibnu Khalkan berkata:”Kata ini dinisbatkan pada kata Sajarah, sebuah nama kampung dan Sajarah merupakan nama seseorang laki-laki, tetapi kenapa beliau diambil dari nama tersebut apakah sebuah nama kampung atau nama salah satu kakeknya yang bernama Sajarah, wallahu a’lam”. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Ramadhan 450 H. Beliau belajar ilmu nahwu dan bahasa dari al-Khatib at-Tibrizi dan Abu Barakat az-Zaidi al-Kufi, belajar ilmu tafsir dari Ibnu Nidhal al-Majasi’i, belajar ilmu hadits dari Ibnu Qasim as-Shairifi, belajar sastra dan puisi dari Ibnu Thabatiba’ al-‘Alawi dan Ibnu Nabhan al-Kurhi. Karyanya dalam bidang nahwu, sorof, bahasa dan sastra diantaranya adalah: Kitab al-‘Amali, al-Intishar, al-Hamasah, Syarh Tashrif Muluki karya Ibnu Jinni, Syarh al-Lam’i dan lainnya.

Puisinya
Alkisah, Syekh Zamkhsyari pernah datang ke Banghdad dalam perjalanan haji, kemudian Syekh Syarif Ibnu Sajari menyambutnya, mengucapkan selamat dan memujinya dengan mensenandungkan puisinya :
كانت مساءله الركبان تخبرنى عن أحمد بن دؤاد أطيب الخبر
dua pengendara kuda memberikan kepedaku tentang Ahmad bin Duad sebagai berita paling indah
حتىّ التسقينا فلا والله ماسمعت أذنى باحسن ممّا قدرأى بصرى
Sehingga kami bertemu, maka demi Allah telingaku tidaklah mendengar sesuatu yang baik dibandingkan apa yang dilihat oleh pandanganku
وأستكبر الأخبار قبل لقائه فلمّا التقينا صدّق الخبرَ الخبرُ
Beliau meninggal pada hari kamis tanggal 26 Ramadhan 542 H di Baghdad, tidak mempunyai anak dan dimakamkan di Kurh.

12. Ibnu Khasab
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Ahmad bin Ahmad bin Abdullah bin Nasr bin al-Khasab. Dia dilahirkan di Baghdad tahun 492 H. Ibnu Khasab merupakan seorang pengikut Sunni beraqidah ahlus sunnah, bermazhab Ahmad bin Hambal. Di waktu mudam, beliau merupakan seorang yang sering menghabiskan waktunya di kedai-kedai kopi dan bermain catur bersama orang-orang yang awam, tetapi akhirnya berubah.

Puisinya
ودى اوجه، لكنّه غير بائح بسرٍّ وذى الوجهين للسرّ مظهر
تفاجيك بالأسرار وجهه فتفهمها مادمت بالعين تنظر
Dan bagi pemiliki wajah, akan tetapi tidak dengan rahasia dan pemiliki 2 wajah setiap rahasia tampak
Karyanya
a. Kitab al-Murtajil,
b. Syarh Kitab al-Jumal karya al-Jarhani
c. Syarh Kitab al-Lam‘u karya Ibnuu Jinni
d. Syarh Muqaddimah Ibnu Hubairah dalam ilmu nahwu
e. Syarh Jumal az-Zujaji (Bantahan terhadap Ibnu Babisad)
5. Tahdib Islah al-Mantiq (Bantahan terhadap al-Khotib at-Tibrizi)
Beliau dipanggil Allah pada hari Jumat tanggal 3 Ramadhan 567 H di rumah Abu al-Qasim bin Fara’ di Bab al-Azji di Baghdad.

13. Ibnu Duhan
Nama lengkapnya Abu Muhammad nasihuddin Said bin Mubarok bin Ali bin Abdullah bin Said bin Muhammad bin Nasr bin Asim bin Roja bin Abi bin Sabal bin Abi al-Yasar Ka’ab al-Anshari. Dia dikenal dengan nama Ibnu Duhan. Dia dilahirkan di daerah sungai Thabiq, di sebuah kampung di kawasan Baghdad pada hari kamis tanggal 26 Rajab 494 H. Beliau belajar hadits dari Abi al Qasim Hibatullah bin Husain dan Abi Ghalib Ahmad bin Hasan bin Bina’, belajar ilmu nahwu dari para pakar nahwu diantaranya: Ibnu Jawaliqi, Ibnu Sajari, Ibnu Khosab dan Ibnu Burhan. Beberapa karyanya diantaranya adalah: Kitab ad-Durus fin-Nahwi, Kitab ‘Arudh, Kitab Tafsir al-Qur’an, Kitab Tafsir Surat al-Fatihah, Kitab Tafsir Surat al-Ikhlas, Diwan Syi‘ir, Syarah al-Fushul al-Kubra karya Ibnu Mu’ti, dan Syarh al-Fushul ash-Shughra karya Ibnu Mu’ti.

Puisinya
لاتجعل الهزل دأبا فهو منقصة والجدّ تعلو به بين الورى القيم
ولايغرّنك من ملك تبسّمه ما تصخب إلاّ حين تيتسم
Beliau meninggal di Mosul hari ahad bulan Syawal 569 H, dimakamkan di pemakaman Ma’ani bin Imran Bab Maidan.

14. Al-Anbari
Nama lengkapnya Abu al-Barakat Kamaluddin Abdurrahman bin Abu al-Wafa Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Said Muhammad bin Hasan bin Sulaiman al-Anbari. Dia dilahirkan di Anbar (sebuah kota kuno di tepi sungai Eufrat) pada bulan Rabiul akhir tahun 513 H. Beliau belajar fiqh dari Said bin Razaz, belajar nahwu dari Ibnu Sajari, belajar sastra dari Ibnu Jawaliqi. Beliau mempunyai karya ilmiah sangat banyak sekitar 65 dalam bentuk kitab dan makalah. Di antara karyanya adalah Kitab Lam’ul-Adillah fin-Nahwi, Asrarul-‘Arabiyah, Mizanul-‘Arabiyah, Halbatul ‘Arabiyah, Ghara’ib I’rab al-Qur’an, Diwan Lughah, Syarh Diwan al-Mutanabbi, al-Wajiz fit-Tasrif, az-Zahran fil-Lughah, Kitab Alif wa Lam, Kitab al-Lam’ah fi Shina’ah asy-Syi’r.

Puisinya
إذا ذكرتكِ كاد الشوق يقتلنى وأرقتنى أحزان وأوجاع
وصار كلّى قلوبا فيك دامية للسقم فيها وللآلام إسراع
فإن نطقت فكلى فيك ألسنة وإن سمعت فكلّى فيك أسماع
Beliau meninggal pada malam Jumat tanggal 9 Sya’ban 577 H di Baghdad dan dimakamkan di pemakaman bab Abraz disamping makam Abi ishak as sirozi.

15. Al Matrazi
Nama lengkapnya Shadrul afadil Abu al fath Nasir bin Abi al makarim abd as sayyid bin Ali, terkenal dengan nama Al Matrazi. Beliau dilahirkan di bulan Rajab 538 H di Khawarizm, beliau juga dijuluki sebagai khalifah Zamkhasari karena Zamkhasari meninggal di tahun yang sama Matrazi dilahirkan dan di kota yang sama pula. Belajar hadits dari Abi abdullah muhammad bin Abi saad at tajir, dan beliau bermadzhab Hanafi dalam amalan fiqihnya dan beraliran mu’tazilah dari sisi pemikirannya.
Beberapa karyanya diantaranya:
1. Kitab al misbah dalam ilmu nahwu
2. Al muqoddimah almatraziyah
3. Al iqna’ dalam ilmu bahasa
4. Mukhtasar islahul mantiq karya Ibnu Sakit
5. Syarhu maqamat al hariri

Puisinya
وإنّى لأستحيى من المجد أن أرى حليف غوان أو أليف أغانى
Beliau meninggal di Khawarizm pada hari selasa tanggal 21 Jumadil awal 610, beliau mewariskan 300 puisi Arab dan Parsi.


16. Al Kindi
Nama lengkapnya Tajuddin Abu al-Yaman Zaid bin Hasan bin Zaid bin Hasan bin Zaid bin Hasan bin Said bin Ashomah bin Hamir bin Harits. Dia dilahirkan di Baghdad di hari Rabu pagi 25 Sya’ban 520 H. Nama Kindi dinisbahkan pada suku Kindah, salah satu suku Arab yang terkenal. Yang menamai demikian adalah Umruul Qais bin Hajar. Beliau memulai pengembaraan ilmunya ke Baghdad, hafal Al Qur’an pada umur 7 tahun, dan menyempurnakan belajar qira’at-nya pada umur 10 tahun. Beliau merupakan ulama yang ahli dalam ilmu qiraat. Imam adz-Dzahabi berkata:”saya tidak mengetahui ada seseorang yang hidup setelah menghafal Al Qur’an berumur sampai 83 tahun selainnya”. Belajar nahwu dari Abu Muhammad Sabat Abi Mansur al-Khayat, Ibnu Sajari, Ibnu Khasab dan belajar bahasa dari Mauhub al-Jawaliqi. Dia belajar hadits dari Abu Bakar bin Abdul Baqi. Pada mulanya beliau bermadzhab Hanbali kemudian menjadi Hanafi dan menjadi tokoh dalam madzhab Hanbali.



Antara al-Kindi, Ibnu Dahiyah, dan Ibnu al-Jazari
Diriwayatkan pada tanggal 13 Rajab 605 H, al-Kindi datang pada perjamuan makan atas undangan menteri Izzuddin Farukh Syah. Datang juga Ibnu Dahiyah. Ibnu Dahiyah menyebutkan hadits tentang syafa’at ketika sampai pada kata: قول الخليل – عليه السلام - : أنما كنت خليلا من وراءَوراءَ
Menurut Kindi: وراءُوراءُ, (di-dhommah kedua hamzahnya), Ibnu Dahiyah merasa keberatan dengan pendapatnya. Ibnu Dahiyah kemudian menyusun kitab berjudul:
الصارم الهندى فى الرد على التاج الكدى . Al-Kindi pun tidak diam begitu saja dan mempertahankan argumennya dengan menyusun kitab berjudul:
نتف اللحية من ابن دحية
Persoalan lain pernah ditanyakan kepada Kindi perbedaan antara
( طلقتك إن دخلت الدار) dan (إن دخلت الدار طلقتك), kemudian Kindi menyusun sebuah kitab untuk menjawabnya (tidak dijelaskan disini bagaimana solusi dari permasalahan tersebut-pen) kemudian dibantah oleh Muinuddin Muhammad bin Ali bin Ghalib al-Jazari, dengan menyusun kitab yang diberi nama:
الإعتر اض المبدى بوهم التاج الكندى
Puisinya
Diriwayatkan beliau banyak membuat beberapa puisi yang berisi hikmah, pujian kepada para pemimpin dan raja yang dekat dengannya. Di antara beberapa puisinya yang berisi tentang pujian:
يا سيف دين الله عشت سالما فالدين ماعشت به باره
ودم لأهل العلم مادامت الدنـ ـيا فأنت العالم الداره
أنّ الذي يسمو ألى نيل ما شيّدتَ من أكرومة واره
كم لك عند الروم من وقفة ذكره فى الدنيا بها جاره
Beliau meninggal di Damaskus pada hari Senin tanggal 6 Syawal 613 H, dimakamkan di gunung Qasiyun.

17. Al-‘Akbari
Nama lengkapnya Muhibbudin Abu al-Baqa Abdullah bin Husain bin Abdullah bin Husain al-‘Akbari. ‘Akbaro adalah sebuah kota di tepi sungai Dajlah ± 10 farsakh dari Baghdad. Beliau dilahirkan di Baghdad di awal tahun 538 H. Dia belajar nahwu dari Yahya bin Najah, Ibnu Khasab dan ulama di masanya, belajar hadits dari Abi al-Fath bin Batti, dan Abi Zar’ah al-Muqaddasi, belajar madzhab Hanbali dari Qadhi Abi Ya’la al-Iza. Diantara karyanya adalah Tafsir al-Qur’an, I’rab al-Qur’an, Tasyabih al-Qur’an, I’rab al-Hadits, Syarh Abyat Sibawaih, Talqin, Tahdib fin-Nahwi, Isim Isyaroh, Talkhis, dan I’rab Syi’ir al-Khamsah.

Puisinya
Puisinya ketika memuji Menteri Nasir bin Mahdi al-‘Alawi
بك أضحى صدر الزمان محلى بعد أن كان من علاه مخلى
لايجاريك فى نجاريك خلق أنت أعلى قدرا وأعلى محلاّ
دمت تحيى ماقد أميت من الفضـ ل و تنفى فقراوتطرد محلا
Beliau meninggal pada malam ahad tanggal 8 Rabiul akhir 616 H. dimakamkan di pemakaman Imam Ahmad di Bab Harb.

18. Ibnu Khabaz
Nama lengkapnya Abu al Abbas Samsuddin Ahmad bin Husain bin Ahmad bin Abi al-Ma’ali bin Manshur bin Ali al-Arbali al-Mosuli. Beliau merupakan pakar nahwu, bahasa, arudh dan faraidh. Banyak para ulama nahwu lainnya yang menukil darinya, diantaranya Ibnu Hisyam, Badar Damamini, Khalid al-Azhari, Arbili, Jalal as-Sayuti, Syaikh Yasin al-Hamsi, Abdul Qadir al-Baghdadi. Karyanya adalah:
1. Kitab al-Kifayah dalam ilmu nahwu
2. Kitab Nihayh dalam ilmu nahwu
3. Syarh Idhoh karya Abi Ali al-Farisi
4. Syarh al-Muqaddimah al-Jazuliyah
5. Syarh al-Fushul karya Ibnu Mu’ti
6. Syarh al-Lam‘ karya Ibnu Jinni
7. Kitab Duratul Mukhofiyah (Syarh Alfiyah Ibnu Mu’ti)
8. Kitab al-Faridah fi Syarhil-Qasidah.

Puisinya
أعر اضهم لم تزل مسودّة فإذا قدحت فيه أصاب القدح حرّاقا
بلوتهم فطعمت السمّ فى عسل وما وجدتُ سوى الهجران درياقا
Beliau meninggal di Mosul tanggal 10 Rajab 637 H. Imam Syofdi menyebutkan beliau wafat pada tahun 639 H.